Ajaran Islam begitu menekankan perilaku bertanggung jawab
Ajaran Islam begitu menekankan perilaku bertanggung jawab, termasuk dalam kerusakan atau pun kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan seseorang. Allah melarang perbuatan merampas harta atau barang milik orang lain dan membebankan tanggung jawab atas apa pun yang rusak dari harta yang diambil meski itu todak disengaja.
Mengutip artikel di laman About Islam, siapa pun yang merusak properti orang lain, yang cukup besar, tanpa izin pemiliknya, bertanggung jawab secara finansial menggantinya. Imam Al-Muwaffaq RA mengatakan: “Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini, apakah kerusakan itu disengaja atau tidak, dan apakah yang menyebabkannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atau tidak.”
Demikian pula, siapa pun yang menyebabkan kerusakan atas kekayaan orang lain bertanggung jawab secara finansial untuk itu. Misalnya, ketika seseorang membuka pintu yang menyebabkan benda yang dikunci hilang atau dicuri, atau ketika seseorang membuka peti yang menyebabkan apa yang ada di dalamnya terbuang dan rusak, dia bertanggung jawab untuk itu.
Begitupun jika seseorang mengikat binatang tunggangan di jalan sempit yang menyebabkan orang yang lewat tersandung dan terluka, maka dia harus membayarnya atas kerusakan yang ditimbulkan. Hal ini sama persis seperti orang yang memarkir mobil di tengah jalan dan akibatnya mobil seseorang tertabrak hingga menyebabkan kerusakan, orang yang memarkir mobil itu bertanggung jawab mengganti kerusakan.
Pendapat ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daraqutni dan lain-lain, yang berbunyi, “Jika seseorang mengikat hewan tunggangan di salah satu jalan kaum Muslimin, atau di salah satu pasar mereka, dan hewan itu menginjak seseorang (atau sesuatu) dengan salah satu kaki depan atau belakangnya, maka seseorang bertanggung jawab untuk itu.” (Ad-Daraqutni dan Al-Bayhaqi)
Hukum yang sama berlaku ketika seseorang meninggalkan tanah liat, sepotong kayu atau batu di jalan atau menggali lubang di dalamnya, menyebabkan kerusakan atau cedera pada orang yang lewat. Dengan cara yang sama, jika seseorang melempar kulit semangka atau membiarkan air ke jalan, menyebabkan orang yang lewat terpeleset dan terluka, dia harus menebusnya. Orang yang melakukan semua tindakan tersebut secara finansial bertanggung jawab atas kerusakan yang diakibatkannya karena perbuatan tersebut dianggap sebagai dosa atau pelanggaran.
Namun sayang, ada banyak contoh kecerobohan seperti itu di mana-mana saat ini. Tidak jarang kita menjumpai banyak lubang yang digali sembarangan di jalan, banyak balok atau benda yang diletakkan di dalamnya dan begitu banyak kerusakan yang disebabkan oleh kelalaian itu karena kurangnya kontrol dan pengawasan.
Tidak sedikit pula kita menjumpai kendaraan yang diparkir di sembarang tempat dan bahkan menyebabkan kerugian bagi orang yang lewat tanpa mempedulikan dosa yang mereka lakukan. Contoh lain yang menimbulkan kewajiban keuangan ialah, misalnya ketika seseorang memiliki anjing gila yang kemudian menyerang orang yang lewat atau menggigit salah satu dari mereka.
Dalam hal ini, pemilik anjing bertanggung jawab mengganti rugi kerusakan atau cedera yang diakibatkannya. Sebab, memiliki anjing gila seperti itu merupakan tindakan pelanggaran.
Sebaliknya, jika seseorang menggali sumur di halamannya untuk keuntungannya sendiri, ia bertanggung jawab secara finansial atas segala kerusakan yang mungkin ditimbulkannya. Ia wajib mengamankan sumur itu dalam keadaan yang tidak merugikan orang yang lewat. Namun, jika dia meninggalkannya tanpa tindakan pencegahan seperti itu, dia dianggap sebagai pelanggar.
Apalagi jika seseorang memiliki ternak, ia wajib menjaganya agar tidak merusak tanaman orang lain terutama pada malam hari. Jika tidak, dia bertanggung jawab secara finansial atas apa pun yang mereka rusak.
Nabi Muhammad SAW menilai dalam kasus seperti ini: “Pemilik harta (yaitu ternak) harus memeliharanya di siang hari dan mereka bertanggung jawab atas kerusakan yang mereka (ternak) sebabkan selama waktu malam.” (Imam Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah).
Pemilik hewan peliharaan tidak bertanggung jawab untuk itu pada siang hari, kecuali jika dia melepaskannya dekat dengan apa yang biasanya dirusaknya. Imam Al-Baghawi rahimahullah berkata: “Para ulama berpendapat bahwa pemilik ternak yang menggembalakan tidak bertanggung atas harta orang yang mereka (sapi)
rusak di siang hari. Namun, pemiliknya bertanggung jawab atas apapun yang mereka rusak di malam hari, karena sudah menjadi kebiasaan bahwa pemilik kebun dan ladang harus melindungi mereka dengan baik di siang hari, sedangkan pemilik ternak harus menahan mereka (hewan) di malam hari. Dengan demikian, siapa pun yang melanggar kebiasaan ini telah menyimpang dari norma. Dalam hal pemilik ternak tidak ada, tetapi jika dia ada di sana, dia harus membayar apa yang ternaknya rusak.”
Dalam Alquran, Allah menyebutkan kisah tentang Nabi Daud dan Sulaiman, dan penilaian mereka tentang kasus kerusakan serupa. Allah berfirman: “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman (ladang), karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Dan Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” (Alquran 21: 78-79).
Syekh Al-Islam Ibn Taymiyya berkata, “Menurut Alquran, Nabi Sulaiman AS memahami kebijaksanaan kewajiban dengan syarat yang setara. Domba-domba itu merumput di malam hari dan merusak kebun anggur. Daud menilai para gembala harus membayar nilai yang tepat dari kerusakan, dan kemudian ia memperkirakan domba itu dan menemukan bahwa nilainya sama dengan kompensasi (ganti rugi) untuk kerusakan. Oleh karena itu, dia memberikan penilaian semua domba harus diberikan kepada pemilik kebun. Namun, Sulaiman menyebutkan pemilik domba bertanggung jawab atas kebun yang rusak dan bahwa mereka harus membayar ganti rugi yang sama persis dengan mengolah kebun sampai kembali ke keadaan semula. Dia juga tidak mengurangi dari pemilik kebun itu tanaman yang seharusnya dihasilkan dari saat kerusakan sampai saat pemulihan. Oleh karena itu, Sulaiman memberikan domba kepada pemilik kebun sehingga mendapatkan keuntungan dari mereka sebanyak yang pemilik domba gunakan untuk mendapatkan keuntungan dari kebun tersebut. Dengan kata lain, mereka akan memanfaatkan domba gembala itu sebagai imbalan atas buah-buahan yang mereka hilangkan dari kebun mereka sampai kebun itu dibudidayakan kembali oleh para gembala (sebagai kompensasi). Sehingga, Sulaiman menimbang dua jaminan dan menemukan keduanya sama. Hal itu adalah contoh dari ilmu yang Allah anugerahkan padanya dan kebijaksanaan dari Allah.”
Selanjutnya, jika seekor binatang telah digiring atau ditunggangi oleh seseorang, ia hanya bertanggung jawab atas kerusakan yang dibuat organ-organ depannya, seperti kaki depan atau mulutnya. Namun, dia tidak bertanggung jawab atas apa yang dirusak oleh bagian belakang hewan seperti kaki belakang.
Hal ini seperti dijelaskan oleh Nabi SAW bahwa, “Tidak ada kompensasi untuk apapun yang rusak (atau terbunuh atau terluka) oleh kaki binatang.” (Al-Bukhari dan Muslim). Syekh Al-Islam Ibn Taymiyyah mengatakan, “Luka atau kerusakan yang disebabkan oleh hewan seperti sapi, domba, dan sejenisnya tidak diberi ganti rugi (oleh pemiliknya) jika terlepas dari tali pengikatnya. Ini terjadi, misalnya, ketika seekor binatang melepaskan diri dari orang yang memimpinnya dan kemudian menyebabkan kerusakan. Dalam hal ini, tidak ada tanggung jawab finansial pada pemilik atas kerusakan tersebut asalkan hewan itu tidak terbiasa menggigit dan pemiliknya tidak lalai dalam menahannya di malam hari dan menjauhkannya dari pasar dan tempat berkumpulnya orang.”
Pendapat yang sama dipertahankan oleh sebagian ulama lainnya, yang menyatakan tidak ada ganti rugi (untuk kerusakan yang ditimbulkan) jika hewan itu melarikan diri dan berkeliaran tanpa tujuan tanpa seorang pemimpin atau penunggang, kecuali jika itu adalah binatang buas. Selain itu, jika seseorang diserang oleh manusia atau hewan, dan membunuh adalah satu-satunya cara menghentikan mereka, tidak akan ada kompensasi bagi orang itu jika dia membunuh mereka. Karena membunuh di sini adalah sarana pembelaan diri yang diperbolehkan, jadi tidak ada tanggung jawab atas akibatnya.
Selain itu, pembunuhan seorang penyerang dimaksudkan untuk mencegah kerusakannya sehingga seseorang tidak akan dianggap sebagai pembunuh ketika seseorang membunuhnya untuk membela diri. Syekh Taqiyyud-Dien berkata, “Seseorang harus menghentikan penyerang, dan jika tidak dapat dihentikan kecuali dengan membunuh, diperbolehkan bagi orang yang diserang untuk melakukannya sesuai dengan kesepakatan hukum bulat dalam hal ini.”
Di antara benda-benda yang tidak ada ganti ruginya jika rusak adalah alat musik dan hiburan, salib, wadah anggur, dan buku-buku tentang kesesatan, takhayul, kebobrokan dan pemborosan. Hal ini tersirat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ra dengan kewenangan Ibn ‘Umar ra yang meriwayatkan bahwa Nabi SAW memerintahkannya untuk mengambil sebilah pisau dan kemudian beliau pergi ke pasar Madinah, di mana ada wadah kulit dari minuman keras yang dibawa dari Ash-Sham (wilayah yang meliputi Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina). Ibn ‘Umar menambahkan wadah kulit anggur itu dirobek oleh pisau di hadapan Nabi SAW yang memerintahkan para sahabatnya melakukan hal yang sama (HR. Ahmad).
Hadits ini membuktikan kewajiban agama untuk menghancurkan hal-hal yang tidak bermoral tersebut tanpa memberikan imbalan apa pun. Namun demikian, hal itu harus dilakukan di bawah kendali dan pengawasan penguasa (otoritas) untuk menjamin kepentingan umum dan mencegah kejahatan atau korupsi yang diakibatkannya.
Sumber : republika.co.id