Pernah mendengar nama Timbuktu? Wajar bila Anda tak pernah mendengarnya. Nama itu memang sangat asing bagi telinga orang Indonesia. Nama itu memang bukan berasal dari kosa kata bahasa daerah di Indonesia, apalagi bahasa Indonesia.
Timbuktu merupakan nama sebuah kota di Mali, Afrika Barat. Sekarang, tak banyak yang bisa diceritakan dari kota yang tandus dan gersang di Afrika itu. Dunia saat ini mungkin hanya mengetahui keberadaan kota itu dari sebuah bangunan masjid antik yang menjadi cagar budaya dunia, yaitu Masjid Djinguereber. Masjid terbesar di Timbuktu ini sangat unik karena dibangun dengan menggunakan material tanah lumpur. Dengan arsitektur khas lokal dan warna alamiah coklat lumpur. Masjid ini dibangun di masa kejayaan Timbuktu.
Pada tahun 1.200 masehi, Timbuktu merupakan pusat peradaban Islam di Afrika Barat. Di sana, dahulu, pernah tersimpan puluhan ribu naskah, tulisan, atau pun transkrip berbagai ilmu pengetahuan. Bahkan, sampai sekarang kabarnya ribuan naskah kuno itu masih disimpan secara turun-temurun oleh penduduk setempat. Di masa kejayaannya, kota ini pernah memiliki sebuah pergurun tinggi dan madrasah ternama bernama Sankore.
Bahkan, kota ini pun pernah mnejadi pusat perdagangan yang ramai, hingga sebuah kebakaran hebat memusnahkan seluruh sisa-sisa peradaban yang ada di kota tersebut. Abad ke 15 dan 16 disebut-sebut sebagai masa keemasan Timbuktu. Musafir dari segala penjuru akan menyempatkan diri untuk singgah di kota ini, demi mendapatkan informasi-infiormasi dan pengetahuan baru dari kota tersebut.
Nama Timbuktu menyebar ke penjuru dunia melalui kisah perjalanan yang ditulis Hasan ibn Muhammed al-Wazzan al-Fasi alias Leo Africanus atau Joannes Leo Africanus. Ibnu Battuta juga pernah menyebut kota itu dalam catatan perjalanannya. Universitas Sankore yang saat ini masih berdiri di sana, dibangun pada tahun 1581 di atas kota kuno yang telah berdiri sejak abad 13-14. Kala itu, perguruan tinggi ini menjadi pusat pendidikan Islam, dengan kajian utama Al Quran, astronomi, logika, serta sejarah. Salah satu tokoh cendekia ternama yang hidup masa itu adalah Ahmad Baba.
Dari puluhan ribu naskah kuno peninggalan masa keemasan Timbuktu, yang terkenal adalah naskah sejarah Tarikh Al-Fetash yang dibuat Mahmoud Kati dari abad 16 dan naskah sejarah Sudan, Tarikh As-Sudan, yang ditulis oleh Abdurrahman As-Sadi pada abad 17. Kejayaan kota ini mulai memudar setelah para penjelajah dan pencari budak dari Portugis serta beberapa negara Eropa lainnya mendarat di Afrika Barat. Mereka menciptakan sebuah jalur alternatif melalui gurun pasir.
Kemerosotan kota ini semakin cepat setelah diinvasi oleh tentara kaum Morisco, atau kaum Muslim Spanyol dan Portugis yang telah berpindah agama menjadi Katolik saat era penaklukan Spanyol. Mereka menginvasi Timbuktu untuk kepentingan kesultanan Marokko pada tahun 1591.
Sumber : republika.co.id