Sekolah “Abu-Abu” : Negeri Bukan, Swasta Tidak
(Refleksi atas Sekolah yang Didirikan oleh Pejabat Aktif di Luar Sistem Resmi Negara)
Oleh: Sudjarwo, Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
PORTALLNEWS.ID (Bandar Lampung) – Akhir-akhir ini marak pejabat aktif yang sedang berkuasa, ingin meninggalkan legacy dengan membuat sekolah, dari tingkat pendidikan usia dini sampai sekolah lanjutan atas, bahkan ada yang sampai perguruan tinggi. Tentu saja alasannya beragam. Hal ini menimbulkan sejuta tanya, sebenarnya sekolah itu swasta atau negeri. Untuk itu, sebaiknya kita pahamkan secara terurai persoalan ini, dengan harapan masyarakat menjadi paham, dan bukan mencari kesalahan.
Di Indonesia, negara memiliki dua jalur utama dalam pendidikan formal, yaitu sekolah negeri yang didirikan dan dibiayai pemerintah, dan sekolah swasta yang dijalankan oleh yayasan atau organisasi independen. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya “jalan ketiga”, yakni sekolah yang beroperasi di luar dua jalur tersebut, didirikan oleh pejabat publik aktif, seperti walikota atau bupati, tetapi tidak memiliki status hukum yang jelas.
mengikuti ujian nasional. Ijazah tidak sah secara hukum. Sekolah tidak bisa mendapat BOS, BOP, atau dana dari Kemdikbud. Guru di sekolah ini seringkali berstatus sukarelawan atau honorer, tetapi tidak masuk dalam formasi guru negeri atau swasta. Mereka digaji dari kas daerah, BUMD, atau bahkan tidak digaji.
Mendirikan sekolah menggunakan dana APBD tanpa Perda atau SK resmi bisa masuk kategori penyalahgunaan anggaran. Penggunaan aset negara untuk entitas tanpa status hukum jelas juga bisa menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. Dan, ketika sekolah abu-abu diberi fasilitas mewah karena didukung pejabat, sementara sekolah negeri dan swasta lainnya kesulitan dana, maka ini menciptakan ketidakadilan struktural. Seolah-olah “status istimewa” hanya berlaku bagi sekolah yang dekat dengan kekuasaan.
Dampak jangka panjang diantaranya adalah: siswa yang lulus dari sekolah abu-abu sulit mendaftar ke jenjang pendidikan lebih tinggi karena ijazahnya tidak sah. Ini merugikan masa depan mereka secara langsung. Selanjutnya, ketika pejabat yang mendirikan sekolah sudah tidak menjabat lagi, banyak sekolah abu-abu terbengkalai karena tidak ada payung hukum yang menjaga kelangsungannya. Jika ini dibiarkan, maka akan menciptakan preseden: setiap pejabat bisa membangun sekolah atas nama pribadi, tanpa regulasi. Ini membahayakan integritas sistem pendidikan nasional.
Solusinya adalah dengan menertibkan tanpa mematikan. Caranya : Pertama, audit nasional sekolah nonformal oleh daerah. Setiap pemda wajib mendata seluruh sekolah yang berdiri di wilayahnya, termasuk yang didirikan oleh pejabat aktif. Audit ini harus transparan, melibatkan masyarakat sipil dan lembaga independen.
Kedua, legalisasi melalui jalur khusus. Dengan diberi pilihan: jika ingin menjadi sekolah negeri, harus melalui proses pengesahan dinas pendidikan. Jika ingin swasta, harus membentuk yayasan resmi.
Ketiga, melarang pendirian sekolah baru oleh pejabat aktif. Caranya, perlu adanya regulasi nasional yang melarang pejabat aktif mendirikan sekolah atas nama pribadi atau menggunakan dana publik tanpa dasar hukum yang sah. Ini penting untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.
Keempat, pengawasan oleh BPK dan Ombudsman. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Ombudsman harus dilibatkan untuk menelusuri penggunaan dana, status legal, dan keluhan masyarakat terkait sekolah-sekolah abu-abu.
Fenomena “sekolah abu-abu” yang didirikan oleh pejabat aktif, dengan status negeri bukan, swasta pun tidak, adalah cerminan dari persoalan serius dalam tata kelola pendidikan di Indonesia. Di satu sisi, ia tampak sebagai bentuk inisiatif positif pejabat daerah dalam meningkatkan akses pendidikan. Namun di sisi lain, pendirian sekolah di luar jalur resmi tanpa dasar hukum yang kuat berisiko merusak sistem pendidikan nasional secara keseluruhan.
Pendidikan bukan ladang pencitraan. Ia adalah tanggung jawab negara dan masyarakat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa secara berkeadilan dan berkesinambungan. Setiap sekolah, sekecil dan seterpencil apa pun, harus berjalan dalam jalur yang benar, bukan di bawah bayang-bayang kekuasaan, bukan di tengah abu-abu yang membingungkan.
Salam Waras (R-2)
Sumber: portallnews.id
(Unzn)







