Tindak Pidana Korupsi maupun Pencucian Uang adalah musuh utama yang menggerogoti serta menghalangi terwujudnya keadilan, pemerataan, dan kesejahteraan nasional. Dalam kaitan itu, sehingga perlu upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan korupsi di Indonesia secara efisien dan efektif, serta sistemik, – maka itu juga perlu dilakukan melalui efektivitas peranan strategis PPATK RI, BPKP, KPK RI, Polri, Kejaksaan, Pengadilan, bahkan terkait berbagai tugas, fungsi dan kewenangan BPK RI, dalam koordinasi yang tepat dengan otoritas penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan (peradilan) dalam suatu the justice system, utamanya terkait dengan segi keuangan serta berbagai aset yang diperoleh secara melawan hukum.
Berbagai upaya yang telah ditunjukan dalam menyelenggarakan due process of law terkait pemberantasan tindak pidana korupsi serta pencucian uang secara sinergis perlu secara terus-menerus dievaluasi efektivitas peranannya. Sehingga mempu mencapai keberhasilan dalam Usaha-usaha menekan kebocoran anggaran negara, transparansi keuangan serta usaha-usaha Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang dalam skema kerjasama the law enforcement secara internasional (global).
Meskipun tidak sedikit hambnatan yang dihadapi oleh para penegak hukum, akan tetapi ada keberhasilan dalam mengungkap dan berhasil diproses menurut hukum yang berlaku dan mengikat. Sehingga sejumlah pejabat publik tingkat Menteri, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat, Lurah, dan Kepala Desa. Begitu pula Anggota DPR RI, Anggota DPD RI, Anggota DPRD, dan berbagai elemen Pegawai Negeri Sipil, Militer, Anggota Kepolisian Republik Indonesia, instansi Pendidikan, kalangan swasta yang mnjalani praktek kongkalingkong yang termasuk dalam ranah tindakan pidana korupsi, dan lain sebagainya.
Salah-satu aspek penting dalam kerangka penggalangan kekuatan dalam Sistem Penegakan Hukum, yakni melalui jalinan kerjasama antar instansional terkait menurut hukum. Baik dalam kaitannya dengan Upaya-upaya Asset Recovery Court Monitoring dengan suatu upaya keras pula untuk mewujudkan dan membangun atau mengembangkan suatu pemerintahan yang bersih dari Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Sejarah membuktikan, bahwa praktik tindak pidana korupsi sudah sangat marak terjadi di berbagai belahan dunia, dan tidak saja di dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya aparatur pemerintah (unsur birokrasi).
Sedangkan, Mochtar Lubis, yang kurang-lebih pernah mengatakan, bahwa korupsi akan senantiasa timbul manakala suatu kehidupan masyarakat tidak memiliki Nilai-nilai Budaya yang secara tegas dan jelasdalam pemisahaan antara dimensi Kepemilikan Pribadi dan Kepemilikan Masyarakat (The Public Ownership). Oleh sebab itu, selalu ada kecenderungan, bahwa banyak sekali dari elemen Pengampu Jabatan Publik yang acapkali melakukan pengaburan antara tindakan kejahatan korupsi oleh elemen masyarakat dalam kaitannya terhadap komponen birokrasi secara kongkalingkong dengan pihak-pihak Tertentu.
Praktek Korupsi terjadi begitu marak paska reformasi. Hal ini disinyalir karena proses pengungkapannya lebih transparan terkait efektivitas fungsi, tugas dan kewenangan dalam Lini-lini Sistem Penegakan Hukum Nasional di bidang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Bahkan, kilas-balik sejarah yang ditilik dalam era feodal yang sebelumnyaberkembang di Kawasan Eropa dan Asia, dan tentunya termasuk di Negara Republik Indonesia, – ketika sejumlah tanah yang masih luas (properties) adalah milik para Penguasa (Otoritas tertentu), sehingga Mereka melalui otoritas kekuasaan tersebut secara leluasa melakukan berbagai bentuk pungutan illegal (pungli), maka itu bisa dikategorikan sebagai praktek Korupsi.
Pihak-pihak yang melakukan secara melawan hukum terhadap bentuk-bentuk pungutan, baik berupa pajak, sewa, upeti, retribusi, dan lain sebagainya, sehingga secara langsung atau tidak langsung telah bertindak secara melawan hukum terhadap Rakyat (Anggota Masyarakat) – maka itu, sesungguhnya bisa dikenai Delik Tindak Pidana Korupsi.
Meskipun terkadang hukum masyarakat dalam konteks kehidupan sosial di ranah publik, ada sebagian kalangan yang mengatakan korupsi dengan berbagai jargon atau bahasa simbolik, misalnya dengan sebutan: perampok uang rakyat, maling berdasi, tukang peras rakyat, penghisap darah rakyat (drakula), tikus-tikus kota, monster, dan lain sebagainya. Oleh karena berbagai hak dan kewajiban-kewajiban yang melekat pada otoritas tertentu terkadang telah membuat situasi, kondisi, kesan, serta posisi Tindak Pidana sebagai bentuk peninggalan adat-istiadat, kebiasaan sosial kemasyarakatan yang berulang secara turun-temurun, uang pelican, uang saku, uang tips, pertemanan, dan seterusnya. Maka itu, Korupsi dipandang sebagai sesuatu tindakan yang wajar serta dianggap sebagai ‘balas jasa’.
Dalam hubungan ini, tentunya Praktik Tindak Pidana Korupsi yang semakin merajalela di Indonesia (di tanah air), yang terlihat hampir pada semua institusi dan atau otoritas formil maupun informal yang mana sebagian telah berhasil ditindak oleh KPK RI melalui Sistem Penegakan Hukum Anti Korupsi.
Terkadang Korupsi lebih dikenal sebagai tindakan dalam menerima sejumlah Uang yang ada hubungannya dengan Jabatan, tanpa ada catatan atau administrasinya.
Tindakan yang berbentuk ‘Balas Jasa’yang diberikan kepada Pejabat Publik. Akan tetapi, disadari atau tidak, semua itu sebagai konsekuensi dari kelonggaran aturan (regulation), padahal yang semestinya perlu diterapkan secara konkret dan ketat (protektif, preemptif, kuratif, dan represif). Termasuk usaha-usaha dalam mencermati bentuk-bentuk kompromistis yang tepat terkait dengan pelaksanaan kegiatan sehubungan dengan Jabatan Tertentu dalam Jajaran Birokrasi di Negara Republik Indonesia.
Hal ini yang pada umumnya dapat dirasakan dalam praktek kehidupan sehari-hari di tanah air tercinta, terutama karena Tindak Pidana Korupsi Dan Pencucian Uang sangat berdampak negatif bagi Kepentingan Nasional (The National Interests) serta sangat mengkhawatirkan terhadap mentalitas koruptif di tengah-tengah dimensional kehidupan publik.
Di Indonesia, bahwa masalah penanggulangan korupsi sudah lama diupayakan dalam Skema Penegakan Hukum (The Law Enforcement Scheme). Terlihat, sekitar tahun 1957 telah dikeluarkan Peraturan Penguasa Militer-Angkatan Darat dan Laut Republik Indonesia Nomor: PRT/PM/06/1957 yang mencantumkan istilah korupsi secara yuridis. Pada masa itu pula, maka korupsi dianggap sebagai Penyakit Masyarakat yang menggerogoti pencapaian kesejahteraan dan menghambat pelaksanaan pembangunan nasional, bahkan berpotensi merugikankemajuan perekonomian nasional. Tindak Pidana Korupsi juga sebagai bentuk pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang nyata-nyata telah mengabaikan moralitas Bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Peraturan tersebut dibuat karena Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), saat itu, belum dapat dan atau tidak mampu menjadi infrastruktur hukum dalam menanggulangi semakin meluasnya wabah atau cakupan Tindak Pidana Korupsi, (Tipikor) maupun Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana dimaksud.
Peraturan Perundang Undangan Republik Indonesia tersebut sebagai Langkah-langkah awal Pemerintah Republik Indonesia untuk penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, sebelum disahkannya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Maka itu, selanjutnya ternyata modus kejahatan korupsi semakin meningkat dan merajalela di berbagai sektor kehidupan nasional.Utamanya dalam struktural politik dan ekonomi.
Seiring dengan semakin parahnya Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tersebut, maka perlu diambil tindakan yang semakin tegas dan nyata.Meskipun sejak pemerintahan Republik Indonesia di dalam kendali Orde Baru (Orba), Usaha-usaha pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terus dilakukan. Akan tetapi upaya itu belum terlalu efektif, kurang bertenaga dan belum intensif. Itu sebabnya, masih tampak jelas, Tindak Pidana Korupsi terus saja tumbuh-kembang bagaikan‘cendawan yang tumbuh subur di musim penghujan’. Upaya-upaya tersebut tidak berbanding lurus dengan berbagai langkah kebijakan strategis dalam lini-lini penyelenggaraan program-program pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Tindak Pidana Korupsi berkelindan dengan kekuatan rezim yang tidak dapat dikontrol dalam mekanisme Penegakan Hukum (Law Enforcement) serta terkesan selalu bersembunyi dalam kealfaan Pembangian Kekuasaan (Distribution of Power atau Chech And Balances), yang terjalin antara: eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Berbagai kalangan, telah menuding baik dariDalam dan Luar Negeri terkait dengan berbagai gagasan dan pendapat (opini), sehubungan dengan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.Bahkan, di antaranya menyatakan, bahwa Tindak Pidana Korupsi di tanah air, sudah menjadi bagian dari Sistem Pemerintahan (Penyelenggara Negara). Padahal fondasi suatu negara yang sangat utama adalah bersihnya pemerintahan dari penyelewengan Keuangan Negara melalui Penegakan Hukum.Semakin rendah penyelewengan Keuangan Negara, maka memungkinkan bertambah majunya kelangsungan Tatanan Kehidupan Nasional yang efektif dan produktif.
Lebih-lanjut, diharapkan terbangunnya konstruksi kehidupan nasional serta daya tahan struktural pemerintahan dengan mekanisme Keuangan (Alokasi Anggaran Negar) yang bersih dari Korupsi.Sekaligus berbanding lurus terhadap postur keuangan Negara sebagaimana Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) maupun yang masih berada di Luar APBN. Jangan sampai, potensi Keuangan Negara dibajak dan tidak bebas dari tindak pidana korupsi, yang justru melibatkan jajaran pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Karena itu, hanya akan menunda-nunda tercapainya Tujuan Pembangunan, khususnya harapan-harapan rakyat di pelosok nusantara (NKRI) menurut hukum (konstitusi Negara Republik Indonesia – UUD 1945).
Apabila berbagai unsur atau elemen pemerintahan yang masih mudah direcoki dengan praktek Tindak Pidana Korupsi, maka mustahil mampu mewujudkan Tujuan Nasional tersebut.Karena itu, dibutuhkan suatu Sistem Pemberantasan Korupsi yang efektif agar tidak merusak skema penyaluran dan atau alokasi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) kepada sebesar-besar kepentingan nasional (the national interests).
Dibandingkan dengan kondisi di berbagai negara lainnya, ternyata Negara Republik Indonesia pernah pula masuk dalam kategori negara dengan Tingkat Korupsi yang sangat parah. Ini adalah hasil survei yang dilakukan oleh berbagai Lembaga dan atauOrganisasi atau Pusat-pusat Gerakan Anti Korupsi di luar negeri, baik swasta (informal) ataupun pemerintah (formal).
Terlepas dari berbagai parameter yang mungkin bisa diperdebatkan selanjutnya, akan tetapi hasil Riset tersebut harus juga diakui sebagai kenyataan yang tidak terbantahkan. Terbukti, sejak tahun 2000-2020 intensitas Tindak Pidana Korupsi di Indonesia terus menunjukan indikasi yang tetap massif pada berbagai instansi dan otoritas terkait.
Secara lebih khusus, jajak pendapat yang pernah juga dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) di berbagai kalangan masyarakat, ternyata masih senantiasa mengindikasikan, Tindak Pidana Korupsi lebi cenderung marak dilakukan oleh instansional, otoritas, institusional, lembaga dan kementerian Negara Republik Indonesia, dan atau berbanding lurus dengan berbagai kegiatan pemerintahan itu sendiri. Meskipun juga dilakukan atas nama Personal melalui kongkalingkong dengan otoritas formil itu sendiri.
Sebagian usaha-usaha terkait penindakan atas Tindak Pidana Korupsi telah dilakukan dengan Penegakan Hukum, baik dari laporan masyarakat, penyidikan Polri, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan KPK RI.Hal tersebut dilakukan sejalan dengan Program Pemberantasan Korupsi tersebut. Bahkan, pernah pula berkali-kali penindakan dilakukan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK RI terhadap berbagai Pejabat Publik, Pengusaha Nakal, dan lain sebagainya. Lantas, fenomena Tindak Pidana Korupsi di Indonesia menjadi semakin marak, sejalan dengan upaya-upaya pengendalian dan penegak hukum (khususnya oleh KPK RI), sehingga harus terus melakukan tindakan menurut hukum yang semakin efektif dalam konteks penanggulangan tingginya angka Tindak Pidana Korupsi.
Sebagai Aparatur Pengawasan Fungsional Pemerintah, khususnya dalam bidang keuangan dan pembangunan nasional, maka BPKP berkewajiban juga untuk melakukan suatu penilaian (examinasi) terkait dengan Tindak Pidana Korupsi yang bersentuhan langsung dengan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangannya. Penilaian tersebut juga termasuk dalam kerangka pengungkapan fakta, bahwa telah terjadinya Tindak Pidana Korupsi, sekaligus menggali Faktor-faktor penyebab terjadinya Tindak Pidana Korupsi, dan sekaligus mencoba mencari teknik serta metode dan strategi yang tepat dalam kerangka penanggulangan. Sehingga
Buku ini juga diberi judul: Hukum Anti Korupsi Dan Pencucian Uang, Mempertahankan Keberlanjutan Dan Kesinambungan Pembangunan Nasional. Buku yang ditulis oleh Undrizon, SH., MH, – diterbitkan oleh Undrizon, SH., MH, And Associates Publishing, Jakarta, pada Januari 2021.
Terlepas dari itu, sebagaimana pula ketentuan yang terdapat pada Pasal 14 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), berkaitan dengan strategi untuk memerangi Praktek Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang mengandung 3 (tiga) elemen pokok, yaitu: (1) adanya institusi yang mengatur kebijakan domestik dan mengawasi pemerintah dalam hal perbankan dan institusi-institusi lain dibidang keuangan; (2) pertukaran intelijen baik ditingkat nasional maupun internasional melalui suatu Badan Pusat Intelijen Keuangan; dan (3) pengembangan kerjasama antar perbatasan wilayah dalam memberantas praktek pencucian uang.
Menurut ketentuan dalam Pasal 23 dan 24 UNCAC tersebut terkandung suatu bentuk anjuran dan saran terkait dengan Bentuk-bentuk Penanganan yang pernah diterapkan untuk melarang tindakan tertentu yang berhubungan dengan Kriminalisasi Pencucian Uang. Bahkan, sifat Independensi Tindak Pidana Pencucian Uang juga ditegaskan, sehingga hasil kejahatan terkait dengan TPPU tidak perlu lagi dibuktikan berasal dari Tindak Pidana lain.
Pengertian Pencucian Uang dapat dilihat menurut ketentuan pada Pasal 1 angka 1 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) merupakan perbuatan yang menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Dari pengertian tersebut telah menunjukan, bahwa Tindak Pidana Pencucian Uang terkait erat dengan Kejahatan Asal (Predicate Crimes), meskipun Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan kejahatan yang beridiri sendiri.
Di banyak negara telah memasukan TPPU, yang mana di dalamnya termasuk Tindak Pidana Korupsi. Gayung bersambut, Republik Indonesia telah ada Undang Undang Republik Indonesia Tentang TPPU yang memasukan Tindak Pidana Korupsi menjadi salah-satu dari 24 (dua puliuh empat) jenis kejahatan dimaksud.Sekaligus menempatkannya pada urutan 1 (pertama).
Bahwa, Undang Undang Republik Indonesia Tentang TPPU telah memerintahkan agar membentuk Lembaga Independen yang bertanggungjawab di dalam Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) yang dalam dunia internasional dikenal dengan the Financial Intelligence Unite (FIU).
Dalam hubungan ini, sehingga Egmont Group mendefinsikan FIU, terkait dengan modus tindak pidana sebagai suatu bentuk kriminalitas dari Tindak Pidana Pencucian Uang, sehingga kemudian dikaitkan dengan latar belakang darimana perolehan sejumlah uang yang sifatnya tidak jelas dan kotor atau haram, lantas disamarkan dan disembunyikan dengan berbagai cara, yaitu melalui proses tertentu pula.
Ternyata, proses tersebut merupakan suatu kegiatan untuk menempatkan harta-kekayaan (properties) yang diketahuinya telah diperoleh dari suatu perbuatan atau tindak pidana kedalam Sistim Keuangan, seperti: penempatan pada Bank yang menyebabkan dananya masuk kedalam Sistem Perbankan, dan termasuk pula kegiatan lainnya yang dapat ditafsirkan sama, misalnya barang tetap (benda hipotik), seperti tanah untuk suatu kebutuhan dalam suatu skema investasi, dan lain sebagainya.
Prosesnya yang tergambar sebagai corak kegiatan yang berlapis melalui cara-cara memecah dana atau mengaburkan hasil-hasil kejahatannya dalam kerangka menghilangkanJejak Asal Uang atau Harta Kekayaan (Properties) tersebut. Setelah itu, akan terlihat sebagaiUang dan atau Harta Kekayaan yang legal (the legal properties).
Kegiatan tersebut umumnya dilakukan, antara lain menurut cara-cara transfer ke beberapaRekening Dalam Negeri maupun Valuta Asing, dan bahkan termasuk memakai cara dengan pembelian berbagai jenis Valuta Asing (Valas) yang dikombinasikan dengan pembelian beberapa Saham (Shares) di lantai bursa. Karena itu, dapat dikatakan sebagai suatu proses kegiatan melalui Usaha-usaha yang menggabungkan keberadaan Uang Ilegal dan Uang Hasil Usaha Legal ke dalam bentuk Usaha-usaha tertentu. Dengan demikian, kekayaannya menjadi semakin tersembunyi, maka sulit dilacak, diketahui dan atau dibedakan mana yang ilegal dan yang legal.
Berlanjut pula, melalui serangkaian mekanisme atau skema investasi, maka itu melalui cara memasukan uang ilegal tersebut kedalam rangkaian aktivitas Bisnis Investasi Legal, tetapi menyulap agar sepertinya usaha atau bisnis tersebut telah memperoleh keuntunganyang besar (surplus benefit), karena itu uang ilegal tersebut sudah menjadi bagian dalam keuntungan perusahaan yang seolah-olah tersebut.
Dapat juga dilakukan dengan cara pengembangan bisnis perusahaan melalui skema Pinjaman Perbankan, meskipun kenyataannya kegiatan tersebut telah dibiayai dengan Uang-uang illegal tersebut. Maka itu, kemudian antara Uang Legal dan Ilegal telah bercampur-baur, sertaterintegrasi dalam neraca keuangan atau kekayaan perusahaan yang legal, sehingga tentunya sulit untuk dipisahkan dan dibedakan mana uang atau propertiesyang ilegal dan mana yang legal.
Merupakan suatu titik kulminasi atas dasar konsesus negara di berbagai belahan dunia (global), khususnya terkait dengan eksistensi negara berkembang (developing countries) yang terus aktif menjalin kerjasama (cooperation) yang semakiin solid dalam kerangka memerangi Tindak Pidana Korupsi melalui pemberlakuan Standar Internasional terkait dengan Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang.
Adapun tujuan dari Konvensi Internasional, sebagaimana telah ditegaskan menurut ketentuan pada Pasal 1 UNCAC, bahwa salah-satunya, yaitu mempromosikan bantuan dan dukungan kerjasama internasional (international cooperation) dan bantuan teknis (technical aids) dalam pencegahan dan perang melawan Tindak Pidana Korupsi termasuk di dalamnya upaya pengembalian aset (the assets recovery).
Tindak Pidana Korupsi merupakan tindak pidana asal dari Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagaimana telah diatur secara tegas menurut ketentuan pada Pasal 2 ayat (1) huruf a Undang Undang Republik Indonesia Tentang TPPU. Tetapi mengingat sifatnya yang merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri, maka Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tidak tergantung dengan kejahatan asal seperti pada Tindak Pidana Korupsi.
Itu berarti, bahwa apabila Kejahatan Asal (Predicate Crimes) sulit untuk dibuktikan, bahkanbelum ditemukan, maka itu penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) akan diajukan secara tersendiri.
Buku ini telah mengetengahkan pembahasannya terkait dengan Judul di atas kedalam beberapa bagian atau Bab. Bab Pertama, mengetengahkan tentang bagaimana cara Menyelamatkan Sektor Keuangan Nasional Dan Daerah Terhadap Tindak Pidana Korupsi. Sejalan dengan itu perlu suatu Perspektif Tentang Tindak Pidana Korupsi Dalam Mewujudkan Tujuan Pembangunan, Penegakan Hukum Anti Korupsi Secara Global, Perspektif Hukum Anti Korupsi Dalam Melindungi Kepentingan Publik, Menekan Pelanggaran Hukum Di Sektor Keuangan Untuk Kesuksesan Pembangunan Nasional, Efektivitas Alokasi Keuangan Negara Dalam Menyukseskan Pembangunan Nasional, Proteksi Mekanisme Dan Skema Penentuan Anggaran Negara Terhadap Kejahatan Korupsi, Efektivitas Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggungjawab Keuangan Negara, Hasil Pemeriksaan Dan Tindak-Lanjut Fungsi Serta Posisi Keuangan Negara, Pengenaan Ganti Kerugian Negara Dalam Pengelolaan Pembangunan, dan Pemidanaan Dalam Kaitan Dengan Proses Pemeriksaan Keuangan.
Berikutnya, di dalam Bab Kedua, menjelaskan tentang Urgensi Partisipasi Masyarakat, Kekuatan Moralitas Penyelenggara Negara, Dan Iklim Demokrasi Dalam Membasmi Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu dibutuhkan suatu Semangat Anti Korupsi Dalam Alam Kehidupan Demokrasi Yang Bermoral, Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang Terhadap Keberlanjutan Pembangunan Nasional, Efektivitas Pelaksanaan Undang Undang Pemberantasan Korupsi, Tindak Pidana Lain Terkait Korupsi, serta Peranserta Masyarakat Dalam Memperkuat Semangat Anti Korupsi.
Kemudian, di dalam Bab Ketiga mengutarakan tentang Berbagai Modus Dan Penegakan Hukum Atas Tindak Pidana Korupsi Dan Pencucian Uang.Maka itu, Proyek Jasa Konstruksi Rawan Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Lain Terkait Pencucian Uang, dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sedangkan di dalam Bab Keempat, menjelaskan tentang Sistem Dalam Proses Penegakan Hukum Atas Tindak Pidana Korupsi Dan Pencucian Uang. Maka itu dibutuhkan suatu Efektivitas Peranan KPK Dalam Penyidikan Tipikor Dan TPPU, Memperkuat Posisi Kepolisian Dan Kejaksaan Dalam Strategi Pemberantasan Tipikor Dan TPPU,Gagasan Dalam Membangun Forum Koordinasi Sistem Penegakan Hukum Dalam Pemberantasan Tipikor Dan TPPU, serta Urgensi Koordinasi KPK Dan POLRI Dalam Penyidikan.
Untuk itu, di dalam Bab Kelima, menjelaskan tentang pentingnya mekanisme Early Warning, Monitoring, Analisis, Konsepsionalitas, Dan Refleksi Pemikiran Tentang Tindak Pidana Korupsi Dan Pencucian Uang.
Buku ini juga dimaksudkan sebagai wujud kontribusi sebagai Anak Bangsa dalam kerangka berlomba untuk kebaikan, meskipun disadari adanya masih jauh dari kadar kesempurnaannya. Tetapi, terlepas dari semua itu adalah suatu kepuasan dan kebahagiaan bagi Kami untuk terus berusaha saling mengingatkan tentang sesuatu kebaikan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Besar harapan Kami agar informasi yang disajikan bagi Warga Bangsa dan Negara Republik Indonesia dapat membuka cakrawala pandang sebagai Pembaca, Pengambil Kebijakandan dan Keputusan (The Policy and Decision Makers), Periset di bidang hukum, Praktisi, Akademisi, Profesional, Mahasiswa, dan masyarakat luas. Namun demikian, Pepatah mengatakan, tiada gading yang tak retak, maka itu, akhirnya dengan segala kerendahan hati dan kesadaran, bahwa sejauh kemampuan kita dalam mengamati tentang berbagai hal di dunia ini maka tetaplah masih maha jauh Tuhan Yang Maha Kuasa (Allah Swt) yang mengetahui serta berbuat sekehendaknya. Karena itu, untuk menyukseskan NKRI maka Semua Pihak (stakeholders) Bangsa dan Negara agar berlomba-lomba berkontribusi bagi terwujudnya nilai-nilai kebaikan Bangsa dan Negara sesuai kapasitas maupun posisinya masing-masing. Baik, dalam posisi formil maupun in formil dalam pemberantasan Tipikor dan TPPU sebagaimana dimaksud.
Sekaligus dalam hal ini, Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam berbagai bentuk Saran, Motivasi, Bantuan Moril, dan Materil sehingga Buku ini bisa hadir ke hadapan sidang Pembaca. Semoga terhadap segala masukan yang bermanfaat tersebut akan menjadi amal kebajikan disisi Tuhan Yang Maha Esa. Segala masukan tersebut akan bermanfaat dan konstruktif bagi penyempurnaan Karya Buku selanjutnya.
Selamat membaca, semoga bermanfaat adanya. (UZN)
Sumber : theglobal-review.com