Diskursus tentang pengesahan KUHP Indonesia telah menjalar ke berbagai penjuru nusantara bahkan dunia internasional. Terbukti dari berbagai aksi, perspektif wacana, diskusi, analisis dan argumentasi hukum terus mengalir dan berkembang begitu cepat pada berbagai Media Massa, terkadang telah menghantui Kesadaran Hukum dan Budaya Hukum Publik di tanah air. Maka itu, perlu dijelaskan melalui sosialisasi serta diseminasi informasi publik yang lebih gamblang (konkrit).
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) telah berinisiatif lebih cepat, lebih gereget dan rasa tanggungjawab yang besar kepada masyarakat, bangsa, dan negara, sehingga perlu mengimbangi perbincangan di tengah-tengah kehidupan publik tentang posisi KUHP Indonesia dalam Sistem Hukum Nasional.
Maklum berbagai background conflict sosial, politik, budaya, serta ekonomi tengah mengalami fase yang sensisitif menuju kondisi pulih, bangkit dan kematangan kesadaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini dan kedepan.
Sebagai Ormas sosial keagamaan yang berdiri hampir satu abad ini, maka itu DPP PERTI (Dewan Pimpinan Pusat – Persatuan Tarbiyah Islamiyah) juga perlu mengambil partisipasi aktif dengan menghadiri Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh FPPP di Gedung BAKN DPR RI pada Rabu 14 Desember 2022. Sehingga Undrizon, SH, MH, hadir dalam kapasitas Pribadi maupun selaku Sekretaris Jenderal DPP PERTI dan Direktur Eksekutuf LBH PERTI pada agenda sebagaimana dimaksud.
Para Narasumber yang hadir dalam Diskusi Publik tersebut, yaitu: Prof. Dr. Edard Omar Sharief Hiariej (Wakil Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia), Dr. H. Asrul Sani, SH., M.Si (Anggota Komisi III DPR RI/Wakil Ketua MPR RI), Prof. Dr. Marcus Priyo, SH., M.Hum (Guru Besar UGM), dan Prof. Dr. M. Amin Suma, SH., MA (Guru Besar Hukum Pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta).
Banyak hal yang dikupas secara mendalam sesuai dengan kerangka tema Dikusi Publik, merespons kritik pengesahan KUHP. Diskusi yang juga dihadiri kalangan Mahasiwsa, Profesional, Wartawan dan berbagai unsur atau elemen masyarakat yang ingin memperoleh informasi akurat tentang diskursus tersebut.
Betapa publik di tanah air, terutama dari kalangan penegak hukum yang benar-benar menantikan kehadiran KUHP Indonesia yang mana sekaligus menggantikan KUHP lama (yang dianggap selama ini sebagai KUHP peninggalan kolonial Belanda).
Sehingga perlu diperbaiki dan disesuaikan dengan Budaya Hukum Nasional. Oleh karena itu, aspek sosial politik dan kebudayaan telah menjadi perhatian dan kehati-hatian dalam menyerap aspirasi serta fakta kehidupan nasional dalam penyusunan KUHP Indonesia tersebut.
Satu hari setelah pengesahan KUHP Indonesia, publik di tanah air tersentak termasuk para elemen masyarakat yang nyata-nyata telah menolak, bahkan telah membawa korban harta benda dan jiwa para demonstran yang tegas menolak kehadiran KUHP Indonesia, yang disebut sebagai bentuk kolonialisme baru bagi Bangsa Indonesia dari aspek hukum.
Begitu mahalnya pengorbanan Bangsa Indonesia terkait dengan Sistem Hukum yang mestinya dibangun dan dikembangkan sesuai dengan karakter kehidupan negara bangsa yang merdeka dan memperkuat kedudukan hak serta kewajiban dan berbagai perlindungan hukum melalui Sanksi yang akan berlaku sejalan dengan lahirnya KUHP Indonesia sebagai payung hukum pidana materiil di NKRI.
Sontak persoalan kesusilaan dan aspek kebudayaan menjadi sorotan tajam. Maklum Indonesia memang negara yang kaya peradaban budaya dalam kebhinekaan. Maka itu semakin tersorot tajam terkait dengan Pasal tentang kesusilaan.
Sebut saja Pasal tentang Perzinaan, Kegaduhan, Pencabulan dan lain sebagainya, sehingga dalam pemberitaan (kampanye dan kapitalisasi isu) di Media Massa Asing ikut mewarnai soal respon publik yang begitu tajam, di negara-negara atau kaasan tertentu, seperti: Eropa, dan Australia.
Bahkan menghimbau agar Warganya tidak berkunjung (wisata) ke Indonesia terkait dengan pengaturan beberapa Pasal Pidana tersebut. Para Turis, Para Wisman dan/atau Pengunjung Daerah Wisatawan Lokal – juga merasa tidak aman dengan adanya kemungkinan Tindakan Hukum (The Law Enforcement) terhadap mereka.
Maka itu, di dalam diskusi publik tersebut dikupas tentang posisi Pasal Kejahatan Kesusilaan yang tetap dengan posisi Delik Aduan yang absolut. Akan tetapi KUHP juga memiliki prinsip universalisme pemidanaan terhadap beberapa kejahatan, sehingga ada kesamaan di berbagai penjuru dunia (negara-bangsa.
Oleh sebab itu, keberadaan beberapa Peraturan Daerah (Perda) terkait dengan Pasal tentang Perzinaan tentunya sudah tidak relevan. Sehingga Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP) tidak lagi diberi kewenangan untuk melakukan sweeping terhadap para tamu yang menginap di berbagai tempat penginapan (losmen, hotel, dan lain sebagainya), sebagaimana sebelumnya telah berjalan. Terkecuali terhadap daerah-daerah tertentu yang mana berlaku Otonomi Khusus, seperti di Aceh – telah berlaku Syariah Islam tentunya tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Apapun diskursus dan persoalan yang berkembang terkait dengan pengesahan KUHP Indonesia tersebut, maka itu baik Wamenkum HAM RI maupun Asrul Sani tetap memberikan kebebasan kepada warga negara yang belum merasa adil terhadap kehadiran KUHP Indonesia untuk menggunakan Hak Konstitusional Warga terkait Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi Repulik Indonesia (MK RI).
Perubahan ini dinilai sekitar 80% (delapan puluh persen) sudah mengandung muatan lokal, artinya, bahwa dekolonialisasi KUHP telah terjai. Tetapi dalam skema hukum, apakah ini dekolonialisasi ataukah Rasionalisasi Hukum Pidana Indonesia. Hal ini terkait dengan sistem hukum yang berciri civil law dengan pendekatan hukum struktural yang mendominasi dibandingkan dengan common law yang mekonstruksikan hukum dari hukum yang hidup di tengah masyarakat (the living law).
Terkait dengan Sanksi Pidana Mati, tetap diberlakukan, sebagaimana dalam Hukum Pidana yang lama, sebagai bagain dari Pidana Pokok. Akan tetapi hal ini menjadi Pengenaan Pemidanaan dengan pola yang bersifat alternatif. Bahwa, setelah dilakukannya pembinaan tanpa dieksekusi selama 10 (sepuluh) tahun berturut-turut, apabila Warga Binaan tersebut terbukti berlaku baik, maka itu tidak boleh dieksekusi – kemudian hukumannya akan diganti menjadi Pidana Seumur Hidup atau Pidana selama 20 (dua puluh) tahun.
Namun demikian, apabila terbukti tidak berlaku semakin baik, maka itu Pidana Mati (Eksekusi) tetap diberlakukan secara efektif. Hal ini sebagai bentuk sikap yang progresif terhadap kemungkinan adanya abolisi secara total. Contoh Kasus Warga Australia yang pernah diajatuhi Pidana Mati lalu mendapat penghapusan hukum menimbulkan polemik ketidakadilan di tengah publik.
Itu sebabnya, skema reformasi KUHP tidak boleh berbau Politik Kepentingan atau Kepentingan Politik, tetapi mengutamakan Kepentingan Nasional, dan karena itu kebebasan berkekspresi juga tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Di beberapa negara, bahkan juga ada semaam lex majesty, maka itu terkait dengan isu tersebut, bahkan, Presiden Joko Widodo, mempersilahkan untuk menghilangkan Delik Penghinaan kapada Kepala Negara atau kepala pemerintahan (haatzaai artikelen), tandas Asrul Sani.
Akan tetapi diskusi tetap menarik terkait dengan adanya potensi Pasal-pasal Karet dan Multitafsir. Tetapi kemudian hal itu dijelaskan, bahwa adanya Penjelasan dalam KUHP yang di tempatkan di bagian belakang. Di dalam KUHP Indonesia ini hanya terdapat 2 (dua) Buku. Sedangkan pada KUHP lama ada 3 (tiga) Buku.
Selain itu, merespon tentang Delik Pers, maka itu ditegaskan oleh Asrul Sani, bahwa melalui KHUP Indonesia ini, – tidak sekali-kali ingin menjadikan dunia Pers sebagi adresaat pemidanaan, karena itu pula pengaturannya (normatif) sudah bersifat Pidsus dalam Undang Undang Tentang PERS. Termasuk Pasal Pidana tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Pejabat Publik (haatzaai artikelen), dan penyampaian berita bohong (hoax), dengan demikian senada pula ditegaskan oleh Wamenkumham RI. dalam diskusi tersebut.
Oleh karena itu pada periode atau fase pembahasan RKUHP telah mengikutsertakan Partisipasi Publik, diantaranya membentuk Aliansi Nasional Untuk Reformasi KUHP. Sehingga ketika itu telah menyerap sekitar 3200 (tiga ribu dua ratus) permasalahan yang tersusun dalam bentuk DIM (Daftar Inventarisasi Masalah), sebagai bahan yang diabsorbsi oleh Fraksi DPR RI, sekaligus juga mengundang sekitar 22 (dua puluh dua) Kedubs Negara Eropa yang antusias datang untuk hearing ke Komisi III DPR RI – utamanya, mereka mempertanyakan tentang terkait Delik-delik Kesusilaan, misalnya diskursus tentang LGBT, Miras (minuman beralkohol), Pencabulan, Gender, Pidana Mati dan Delik-delik Politik.
Maka itu, sekitar 785 Pasal Pidana yang berasal atas usul pemerintah juga telah dibahas, hal itu sebagaimana dipaparkan oleh Asrul Sani. Ditambahkannya, bahwa dalam KUHP yang lama ada 3 (tiga) Buku Buku, yaitu: pertama tentang Aturan Umum; Kedua tentang Kejahatan; dan Buku Ketiga tentang Pelanggaran. Sedangkan dalam KUHP Indonesia, terdiri dari: Buku Kesatu tentang Ketentuan Umum; dan Buku Kedua Tentang Kejahatan.
Namun demikian, patut dicatat, baha sebagaimana diulas oleh Asrul Sani, tentang cara Pikir Hukum Barat, terkait dengan Hak Asasi Manusia (HAM), bagaimanapun Ruang-ruang Private tidak boleh dimasuki terlalu jauh oleh Negara. Maka itu, paradigmannya dalam KUHP Indonesia, tetap kita kontrol, sehubungan dengan posisi Internasional (Asing) terhadap eksistensi Kepentingan Nasional dalam Sistem Hukum Indonesia.
Karena itu, Republik Indonesia telah memiliki Konsensus Nasional (UUD 1945), dan Pancasila dalam Sila Kesatu tentang Ketuhann Yang Maha Esa. Meskipun sebagian Umat Islam tidak menerima pola Delik Aduan dalam konteks Kejahatan Kesusilaan.
Karena itu, menurut Asrul Sani, meskipun belum dapat kita capai semua, atau belum bisa kita perjuangkan secara keseluruhanya tapi minimal kita jangan lari dari realitas tersebut (meninggalkannya). Paling tidak sebagian kita perjuangkan secara nyata dan sungguh-sungguh.
Sementara itu menurut Profesor Marcus Priyo, baha Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) peninggalan Belanda yang sudah berlaku selama 300 (tiga ratus) tahun, karena itu dalam reformasi KUHP Indonesia terkait 3 (tiga) Fase, yaitu: Fase Formulasi, Fase Aplikasi dan Fase Eksekusi.
Kemudian pro kontra yang masih ada dianggap sebagai Residu atas Masalah yang begitu lama berkembang, maka masih bisa dikompromikan. Di dalam Fase Formulasi, Pemerintah tetap memperhatikan, bahwa Indonesia ini terdiri dari Masyarakat yang Multi Etnik atau Aneka Kebudayaan di berbagai daerah (Nusantara) serta dimensi Relegi.
Hal itu terlihat dalam pembahasan tentang Delik Adat, yang mana ketika itu, Prof. Dr. Muladi, pernah mengumpulkan, sekitar 14 (empat belas) orang, Guru Besar Hukum, bahwa: ketika berbicara tentang Delik Adat maka tidak satupun yang mengomentarinya. Karena itu, diharapkan KUHP Indonesia ini, sudah menjadi suatu sinteasa dari berbagai kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara Kesatuan Republik Indonesia.
Karena itu pula tetap terkait dengan persoalan Penegakan Hukum Pidana perlu diperjelas dalam Konteks Perbuatan Pidana, baik tentang actus reus, dan mens rea – harus jelas dalam penegakan hukumnya. Disamping adanya pola pemidanaan dengan Kerja Sosial serta Denda, sebab dalam prinsip HAM tetap ada Hak dan Kewajiban masing-masing elemen Bangsa dan Negara tersebut. Sehingga Negara jangan terkesan represif kepada Rakyat. Tetapi tetap milih jalan yang lebih manusiawi, maka itu berarti: “KUHP Indonesia”, tandas Prof. Marcus.
Profesor Amin Suma, merespon dari aspek hukum pidana islam. Bahwa dalam konteks hukum yang mengandung sisi normatif sebagaiman adanya, yakni: ada Norma Agama, Norma Kesusilaan dan Norma Hukum. Karena itu, perlu mendalami aspek Filosofis, Normatif dan Sosiologisnya. Hukum Pidana juga terdapat dalam Sistem Hukum Islam yang disebut Jinayat (Hukum Pidana Islam).
Hukum Islam utamanya bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadits. Di Indonesia telah diberlakukan Hukum Islam (Syariah) di Propinsi Aceh, dengan pola pemberlakuan Hukuman Cambuk. Sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat. Tetapi pelaksanaannya bisa dilakukan secara firqoh (sebagian) dan juga bisa jama’ah (umum).
Sebagaimana salah-satu fungsi Pemidanaan yakni untuk membuat Efek Jera, bukan atas dasar Teori Pembalasan. Karena itu, Teori Pemidanaan tetap dalam konteks ultimum remedium (pidana sebagai obat terakhir dalam menyelesaikan suatu persoalan hukum terkait).
“Meskipun ada yang masih menghadapi diskursus maka itu karena memang belum sempurna, sehingga perlu secara terus-menerus membangun hukum untuk penyempurnaannnya. Adalah menjadi tugas kita untuk terus menyempurnakannya,” ujar Prof. Amin Suma.