Mata sebagai ‘jendela’ hati menjadi prasyarat utama hifdzu nafs
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.” (Qs. An-Nur/24: 30-31).
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin—rahmat bagi semesta—menghendaki pemeluknya untuk melakukan aktivitas (amal) baik demi terciptanya kemaslahatan. Beberapa maslahat itu bertujuan untuk menyempurnakan akhlak— baik akhlak pada Allah, orangtua, sesama, bahkan makhluk ciptaan Allah yang terhampar di alam raya. Selain itu, agama ini juga berupaya untuk menuntun pemeluknya pada ibadah yang benar juga perintah menjaga (hifdz) diri baik laki-laki maupun perempuan demi tercapainya keseimbangan hidup. Kedua surah yang dikutip di atas adalah satu dari sekian banyak tuntunan yang diberikan al-Qur’an demi terciptanya kemaslahatan.
Dalam Islam, ada satu istilah yang disebut dengan kulliyat khamsah atau maqashid syari’ah konsep ini dikemukakan oleh seorang ulama bernama Asy-Syatibi. maqashid sendiri berasal dari kata maqshad yang berarti tujuan atau target. Menurut imam asy-Syatibi, ada lima bentuk maqashid syariah. Lima bentuk ini disebut juga sebagai lima prinsip umum atau kulliyat al-khamsah. Ada lima hal yang semestinya diupayakan manusia yakni hifdzu ad-din (menjaga agama), hifdzu an-nafs (menjaga diri), hifdzu an-nasl (menjaga keturunan), hifdzu al-maal (menjaga harta), hifduz al-‘aql (menajaga akal).
Jika kita perhatikan secara seksama, lima prinsip dari maqashid syari’ah ini saling terkait satu sama lain, terlebih dalam konteks menjaga diri laki-laki dan perempuan sebagai upaya preventif Al-Qur’an melalui dua surah di atas. Allah mengatur dengan sangat sempurna demi terwujudnya kemaslahatan manusia. Kedua-duanya (laki-laki dan perempuan), secara seimbang, berkewajiban untuk melakukan beberapa perintah. Untuk laki-laki, mereka dianjurkan menahan pandangan dan menjaga kemaluannya. Menjaga pandangan (ghaddu al-bashar) dalam konteks ayat tersebut di atas, menjadi tanggung jawab utama yang disebut sebab awal mula dari segala maksiat datangnya dari pandangan. Anjuran kedua, yakni menjaga kemaluan karena dari dosa/maksiat pandangan bisa melahirkan dosa besar lain yang akan menciderai diri sendiri juga orang lain.
Lafadz yaghudhdhu pada Qs an-Nur 24: 30 terambil dari kata ghadhdha yang berarti menundukkan atau mengurangi. Apa yang dimaksud di sini adalah mengalihkan arah pandangan, serta tidak memantapkan pandangan dalam waktu yang lama kepada sesuatu yang terlarang atau sesuatu yang kurang pantas untuk dilihat, demikian menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah [9]: 324. Sedangkan kata furuj adalah jamak dari kata farj yang pada mulanya berarti celah di antara dua sisi. Alqur’an menggunakan kata yang sangat halus itu untuk sesuatu yang sangat rahasia bagi manusia, yakni alat kelamin. Memang kitab suci Alqur’an dan hadis selalu menggunakan kata-kata halus, atau kiasan untuk menunjuk hal-hal yang dianggap oleh manusia sebagai aib untuk diucapkan.
Ayat di atas menggunakan kata min ketika berbicara tentang abshar atau pandangan-pandangan dan tidak menggunakan kata min ketika berbicara tentang furuj atau kemaluan. Kata min itu dipahami dalam arti sebagian, karena memang agama memberi sedikit kelonggaran bagi mata dalam pandangannya. Seperti ucapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Anda diberi toleransi dalam pandangan pertama, tapi tidak dalam pandangan kedua.”
Yusuf Qardhawi dalam al-Halal wa al-Haram mengemukakan yang dimaksud dari “ghaddu al-bashar” menundukkan pandangan” pada surah an-Nur [24] ayat 30 bukanlah memejamkan mata dan menundukkan kepala ke tanah, karena itu merupakan hal yang sangat sulit dilakukan manusia dan berpotensi menimbulkan bahaya. Apa yang dimaksud dari ayat tersebut sebenarnya adalah menjaga pandangan dari sesuatu yang dilarang syariat.
Tidak jauh berbeda dengan anjuran yang diberikan pada laki-laki, perintah berikutnya yang ditujukan bagi perempuan pada poin pertama dan kedua sama, yakni menjaga pandangan dan menjaga kemaluan. Satu perintah tambahan bagi perempuan yaitu menutup aurat. Disinilah letak penghargaan tertinggi ajaran Islam pada perempuan. Menutup aurat menjadi perintah yang disebut karena selain Islam memuliakan perempuan, perintah ini menjadi relevan sepanjang zaman sebagai upaya preventif tidak kejahatan seksual yang akhir-akhir kian marak terjadi.
Menurut Quraish Shihab, ayat di atas merupakan kelanjutan dari larangan bagi tamu untuk melihat rahasia pemilik rumah yang disebutkan pada surah an-Nur [24] ayat 29. Pada ayat 30 kemudian dilanjutkan dengan perintah menjaga pandangan dan kemaluan, karena barangkali ketika seseorang bertamu matanya menjadi liar dan karena itu pula hasratnya menjadi-jadi. Thahir Ibnu ‘Asyur juga menghubungkan an-Nur [24] ayat 29 dan 30. Menurutnya, setelah ayat 29
menjelaskan ketentuan memasuki rumah, di sini (ayat 30) diuraikan etika yang harus diperhatikan bila seseorang telah berada di dalam rumah, yakni tidak mengarahkan seluruh pandangan kepadanya dan membatasi diri dalam pembicaraan serta tidak mengarahkan pandangan kecuali sesuatu yang sukar dihindari.
Keterkaitan ayat sebelumnya dengan ayat yang disebutkan di atas, menjadi saling terkait karena mata sebagai ‘jendela’ hati menjadi prasyarat utama hifdzu nafs (menjaga diri). Jika poin pertama mampu dilakukan, maka anjuran kedua yakni menjaga kemaluan adalah tujuan dari hifdzu an-nasl (menjaga keturunan). Demikianlah Islam, memerintahkan berbagai anjuran demi kebaikan dan kemaslahatan. Semoga kita dimampukan untuk mengamalkan. Aamiin.
Sumber : republika.co.id