Konsekuensi logis dari kebijakan dan keputusan publik yang tidak akurat dan atau tidak konkret dapat berpotensi menimbulkan kepincangan dalam interaksi sosial ekonomi, dan bahkan soal income bagi penduduk. Maka itu, dibutuhkan kejelasan terkait payung hukum yang benar-benar secara totalitas melindungi kepentingan ekonomi rakyat. Sehingga masyarakat dapat terhindar kerugian atas berbagai pola intimidatif, bisnis ilegal, aksesibilitas penyelesaian sengketa, dan praktek usaha tidak bertanggungjawab. Semua ini bias berpotensi terjadinya pelemahan pada sendi-sendi ekonomi yang dapat menurunkan daya saing ekonomi nasional.
Pemerintah harus terus berupaya dalam mempertahankan dan mewujudkan tujuan nasional menurut Cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, Pancasila, dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka itu, masyarakat adil, makmur dan sejahtera menjadi tujuan utama, konkretnya adalah tercapainya kesejahteraan umum. Itu sebabnya, fungsi yang sangat strategis tersebut telah mendorong pemerintah untuk meningkatkan partisipasi Ormas, khususnya Ormas Keagamaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan, sebagaimana ditegaskan dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Tentunya dalam hal ini, sesuai ketentuan pada Pasal 5 huruf e dan h, bahwa Ormas juga dituntut peranannya dalam upaya melestarikan sumberdaya alam, dan mewujudkan tujuan negara.
Bahwa, kemudian, sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Oleh karena itu, terkait dengan industri strategis di sektor pertambangan melalui prioritas pengelolaan Tambang kepada Organisasi Massa Keagamaan (Ormas Keagamaan). Meskipun, posisi pro dan kontra selalu ada dalam menyikapi Peraturan tersebut.
Misalnya respon dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Muhamadiyah), dan lain sebagainya. Itu sebabnya, DPP PERTI sebagai Ormas Keagamaan yang usianya hamper satu abad, sehubungan dengan kiprahnya dalam usaha-usaha merintis kemrdekaan Republik Indonesia bersama stakeholders bangsa dan negara, melihat secara konstruktif atas gagasan tersebut. Namun demikian, yang terpenting ketentuan tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran warga bangsa secara berkeadilan.
Apalagi posisi Ormas Keagamaan yang harus senantiasa mempertahankan sikap konsistennya dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara terkait adanya arus aspirasi dari akar rumput (buttom up) serta posisi kebijakan dan keputusan publik dari pihak pemerintah (top down). Oleh sebab itu, Ormas Keagamaan perlu bersikap hati-hati dan bijaksana dalam memposisikan diri terkait agenda sebagaimana dimaksud.
Selain itu, penting, menurut hemat kami, bahwa Ormas Keagamaan, yang menjadi prioritas setidaknya diletakan pada berbagai kriteria utama, misalnya: soal partisipasinya dalam perjuangan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan, paling tidak (minimal) telah berkiprah sebagai Organisasi Keagamaan selama 20 (dua puluh) tahun yang ditunjukan dari segenap aktivitas sosial-keagamaannya, berjiwa patriotik dan atau semangat bela Negara yang tidak diragukan, memiliki program strategis yang jelas sebagaimana tertuang di dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ormas. Oleh karenanya, fasilitas pemerintah jangan hanya diletakkan atas dasar keterkenalan, Ormas yang sudah besar, memiliki akses yang kuat di jajaran birokrasi, dan lain sebagainya. Meskipun Ormas tersebut tidak terkenal tetapi dilihat dari segi komitmen perjuangan dalam rentang waktu sebagaimana tersebut di atas atau lebih, maka itu menjadi kriteria yang menentukan.
Pemerintah jangan hanya dalam posisi menunggu tetapi harus ‘jemput bola’ terkait dengan posisi Ormas tersebut, karena itu juga sebagai bentuk penerapkan prinsip objektivitas, dan berkeadilan dalam menilai keberadaan Ormas Keagamaan tersebut. Kalau agenda nasional tersebut diarahkan pada Ormas Keagamaan yang diprioritaskan untuk Ormas yang sudah terkenal, maka itu artinya pemerintah tetap saja menerapkan “prinsip yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin”, “koncoisme”, dan seterusnya.
Apalagi kalau Ormas yang memperoleh kesempatan sebagai pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) berasal dari kalangan Ormas yang baru berdiri (Ormas kemarin Sore), maka ini akan berpotensi melahirkan pergeseran terhadap tujuan semula untuk mempberdayakan Ormas, yang katanya selalu bergelut dari Proposal ke Proposal dalam setiap kegiatan yang akan dibuat. Artinya tanpa kriteria yang jelas dan tegas maka itu akan berpotensi memunculkan berbagai Ormas yang hadir secaera instan, karena itu pula Ormas hanya sekedar mengejar kebenaran tertulis dan bersifat administrati bukan substansial terkait keberadaannya selaku Ormas Keagamaan. Banyak pihak yang akan berloba mendirikan Ormas Keagamaan hanya sekadar memenuhi persyaratan administrative, sehubungan dengan penatakelolaan pertambangan di Indonesia. Padahal Pertambangan adalah industry strategis yang terkait hajat hidup orang banyak, serta kepentingan Negara, pertahanan dan keamanan serta konkretisasi dari bekerjanya pemerintahan yang baik (good governance) di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Apalagi DPP – PERTI (Dewan Pimpinan Pusat – Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang keberadaan cukup lama, tetapi karena diterpa konflik internal, sehingga dalam posisi yang lemah aksesnya ke birokrasi, kurangnya perhatian pemerintah, yang membuat performasninya agak menurun dibandingkan dengan dengan Ormas Keagamaan yang lain di tanah air. Prinsipnya PERTI terkait dengan apapun gagasan dan upaya pemerintah yang betul-betul baik untuk kepentingan masa depan Bangsa dan Negara harus didukung dengan sebaik-baiknya.
Sebab, kalau dilihat dari niat-nya serta gagasan awalnya karena terdorong dari keinginan untuk memberdayakan Ormas dan kiprah sosial keagamaan agar semakin bergiat, mandiri dan kreatif dalam mencapai maksud dan tujuan serta cita-citanya yang sinergis dengan usaha-usaha pencapaian Tujuan Pembangunan Nasional.
Oleh karena itu, bermula dari polemic tentang ketentuan pada Pasal 83A, ayat (1) dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan. Ayat (2) WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah eks PKP2B. Ayat (3) IUPK dan/atau kepemilikan saham organisasi kemasyarakatan keagamaan pada Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dialihkan tanpa persetujuan Menteri. Ayat (4) Kepemilikan saham organisasi kemasyarakatan keagamaan dalam Badan Usaha harus mayoritas dan menjadi pengendali. Ayat (5) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilarang bekerjasama dengan pemegang PKP2B sebelumnya dan I atau afiliasinya. Ayat (6) Penawaran WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku. Ayat (7) ketentuan lebih lanjut mengenai penawaran WIUPK secara prioritas kepada Badan Usaha Milik Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
Itu sebabnya, bahwa antara sikap dan keinginan serta tujuan dari pihak pemerintah termasuk pihak penanam modal, dunia usaha, dan masyarakat umumnya, mestinya tetap berjalan di posisi yang sinergis pada satu kerangka hubungan hukum terkait eksistensi industri strategis dalam usaha menjamin terpenuhinya kepentingan “hajat hidup orang banyak”. Hal ini akan mendorong semua pihak agar mampu menjaga serta menempatkan hak maupun kewajiban dan tanggungjaab dalam menyikapi tarik-menarik kepentingan dengan senantiasa menjunjungtinggi prinsip kepentingan nasional (the national of interests) melalui konsistensi penerapan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi, dan kepastian berusaha dalam penyelenggaraan industri strategis tersebut, khususnya dalam sektor pertambangan terkait dengan konteks keterlibatan aktif dari Ormas Keagamaan sebagaimana dimaksud.
Hal penting lainnya, ialah mengecek secara mendalam dan atau melakukan penelitian mengenai beberapa aspek dari wilayah konsesi yang ditawarkan tersebut, misalnya seberapa besar cadangan batubaranya, apakah secara bisnis masih dapat dinilai masih menguntungkan atau tidak, pihak pengelola sebelumnya telah memenuhi seluruh kewajibannya atau belum menyangkut pemulihan lingkungan hidup, potensi konflik sosial atau tidak antara pengelola sebelumnya dengan masyarakat setempat, dan – apakah persoalan itu telah diselesaikan secara tuntas. Jangan sampai Ormas Keagamaan yang terlibat justru akan menjadi ‘tukang cuci-piring’ atas berbagai persoalan dalam lingkup ekonomi pertambangan tersebut. Oleh karena itu juga jangan sampai di kemudian hari terjadi lagi konflik horizontal, dan bagaimana dengan fungsi Ormas sebagai medium penyambung aspirasi arus baah dan penyampaian animo kebijakan dan keputusan public dari atas ke bawah.
Jangan sampai melalui program dan atau agenda ini justru berpotensi mengikis ketajaman daya kritis Ormas dalam skema pengawasan melekat masyarakat atas berbagai skema penyelenggaraan industri bagi kepentingan nasional. Bahkan, kalau dimungkinkan sebagai bagian esensial dalam skema pengawasan masyarakat tidak hanya terhadap praktek bisnis pertambangan, maka itu dapat pula menempatkan peranan Ormas Keagamaan dalam berbagai aspek industri strategis karena menyangkut kepentingan masa depan masyarakat, bangsa dan negara.
Apalagi, menurut Dr. Undrizon, SH. MH., selaku Sekretaris Jenderal DPP PERTI, yang mendaskan perlunya menyiapkan diri, sebagai bentuk partisipasi elemen masyarakat melalui Ormas PERTI untuk menyambut Program Strategis Bapak Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia Terpilih, sehubungan dengan gerakan transformasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang dinilai akan berdampak strategis pula terhadap pertumbuhan dan pemerataan pembangunan demi kemandirian, kemakmuran, kesejahteraan, ketahanan, daya saing, dan produktivitas progresif sosial ekonomi nasional sebagaimana yang telah digongkan tersebut. (Unzn)