Buku ini ditulis oleh Undrizon, S.H., M.H. – dengan suatu harapan agar terbukanya cakrawala pandang tentang hakikat sosialitas kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan sebagai gugus sosialita yang harus selalu bergerak dinamis dan progresif terhadap dinamika dan konstruksi peradaban global yang semakin kompleks. Oleh karena itu, Buku Karya Puisi ini diberi judul: ‘Sinar Di Mata Burung-burung Tempua’, Menyibak Tabir Harmoni Sosialita. Adalah edisi perdana, terdiri dari 240 (dua ratus empat puluh) halaman, cetakan I (kesatu), Rumah Pelangi, Yogyakarta pada 2019.
Buku Karya Puisi ini disusun dalam upaya menggugah kembali kesadaran, bahwa sosialita manusia yang mana sesungguhnya berjalan dalam cerminan dari berbagai pantulan kelebihan dan kekurangan antara satu dengan yang lainnya.
Begitu pun kekuatan logika yang terus berputar-putar menggali berbagai sumber daya atau potensi dunia, baik fisik maupun non fisik – yang pada hakikatnya berwujud sebagai produk-produk dari segenap aktivitas perekayasaan dalam merajut potensi bersama tersebut agar terpenuhinya hasrat dalam mencukupi kebutuhan, dan keinginan baik individual, masyarakat, bangsa, negara, dan dunia. Adakalanya sosialita manusia mempertontonkan ke-aku-annya dalam kelebihan daya karsa dan cipta hanya untuk mempertahankan eksistensi kehidupannya.
Adakalanya aktualitas kedirian terwujud dalam kebuasan tingkah-laku, keserakahan, arogansi, semena-mena, menjadi pilihan mereka untuk menguasai potensi keadaan dan situasional. Akan tetapi, kadarnya tetap telah tertentu meskipun try and error terkadang tidak terelakan sejauh kemampuannya memaknai kenyataan yang ada. Sosialitas menjadi wadah dalam menguji ketahanan potensi rohaniah tiap-tiap individu dalam kesadaran kolektif, dan selanjutnya akan menjadi memori kolektif sosialita itu sendiri.
Semangat berkarya menjadi bagain penting dalam mengisi ruang-ruang kehidupan sosialita. Semuanya berkontribusi aktif dan pasif untuk mengisi bingkai besar hukum alam dengan bingkai hukum sebagai tatanan dari warna kehidupan sosialita dengan segala elemen atau faktor yang menyertainya dalam satu kesatuan sosialita.
Banyak dimensi alamiah yang selalu menggugah pikiran dan menjadi petunjuk atau isyarat tentang arah dalam suatu pergumulan dinamika sejarah kehidupan yang terus berusaha mencari jawaban atau kesimpulan tentang fenomena eksistensi kemanusiaan dan tingkah-laku yang sesungguhnya tengah berkembang pada lingkungan semesta.
Banyak pula hal yang mampu memberikan gambaran yang konstruktif atas suatu segi terhadap segi yang lainnya atau antara satu dimensi terhadap dimensi yang lainnya. Meskipun hal ini sudah menjadi analisis yang klasik terkait akal budi manusia dalam upaya-upaya terus menggali berbagai persoalan di pelataran sejarah kebudayaan dunia.
Sekilas juga tampak seperti konstruksi peradaban yang antagonis, tetapi sekaligus menggambarkan pula adanya situasi dan kondisi sinergitas yang hakiki serta integral dan saling membutuhkan, bahkan melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Meskipun hal tersebut juga telah diurai secara panjang-lebar dalam banyak refleksi pemikiran, baik yang sifatnya ilmiah maupun fiksional. Satu hal yang jelas, bahwa terkandungnya makna dalam rangkaian kesadaran hidup secara harmonis atau suatu kesatuan sosialita yang integral dalam setiap proses regenerasi kehidupan pada suatu individu, masyarakat, bangsa, dan dunia.
Berikutnya, selalu diperlukan adanya kesadaran kebudayaan yang membingkai kehidupan seiring dengan terpaan pernik dinamika zaman. Apalagi kecenderungan pragmatisme yang melanda dialektika kehidupan, yang semestinya berjalan sesuai dengan corak etika peradaban yang tidak pragmatik tetapi juga ada penonjolan dalam segi simbolik.
Tingginya kemampuan akal-budi mestinya terus mengalir dalam kebesaran jiwa untuk mengakui adanya keterbatasan potensi diri, sehingga perlu menghormati posisi pihak lain dalam sebagai Hak Azasi. Maka itu, segala butiran nilai yang menyatu secara normatif, maka itu menjadi penunjuk jalan kebaikan bagi harmoni kehidupan manusia, sehingga dipandang sebagai faktor penunjang tegaknya Haluan Sosialita Manusia.
Berbagai cara dan sikap dalam menatap persoalan dalam arus zaman tentulah berbeda pada tiap-tiap individu dan masyarakat. Nilai-nilai yang telah tersusun itu, mestinya mampu memberikan sudut pandang yang sama ketika perspektif pemikiran telah berada pada titik yang sama pula seketika menyikapi berbagai persoalan kehidupan. Namun demikian, masih juga banyak Pihak yang bergerak dinamis dalam irama pengaruh faktor eksternal terhadap produk-produk peradaban dalam arti luas, meskipun akhirnya berpotensi menggerus khasanah atau karakteristik diri yang sesungguhnya. Kurang-lebih, Pepatah pernah mengatakan: ‘kalau tiada berada mustahil Tempua bersarang rendah?!’.
Adalah suatu Tamsil Alam sekaligus realitas kehidupan yang sesungguhnya ketika adanya kemampuan menyesuaikan diri serta bertahan dalam arus evolusi alamiah yang terlihat keras, tetapi mampu juga dilakukan menurut intuisi batiniah yang abstrak tetapi terangkai dalam harmoni semesta raya. Dan, kedua dimensi ini sepertinya berbeda dalam corak peradaban yang dihasilkan. Akan tetapi sama-sama atau satu sumber dari kekuatan batiniah dalam takaran yang sulit diukur dan diperkirakan.
Ada isyarat kejernihan hati dan kepuasan batiniah, ketika gerak-gerik yang terbatas dan tampilan yang sederhana dalam performansi individual pada suatu sosialita. Hal ini bermakna, bahwa adanya perasaaan yang ringan dan ceria serta bervisi menatap tantangan zaman kedepan. Sebuah optimism yang lahir dalam berpacu dengan rekonstruksi peradaban. Maka itu, energi kehidupan telah terbagi secara abstrak dalam kadar tertentu. Sesungguhnya masing-masing pihak tidak akan mampu menjangkau sepenuhnya hastrat dalam sosialita. Dari fenomena tersebut mustahil sesame manusia untuk saling menghukum dengan ketajaman mata logika. Itu pula sebabnya, suatu harmoni bisa terganggu ketika karakteristik kebijaksanaan telah hilang dalam upaya rekonstruksi kehidupan itu sendiri.
Burung-burung Tempua, sebagai perlambang kearifan salah satu model sosialita yang mana ada karakter tertentu dalam interaksi sosialitanya maupun keunikannya. Terlihat adanya harmoni yang disikapi secara arif, elegan, cerdik serta cendikia dan bervisi, sehingga mampu membaca arah percaturan peradaban sosialita dunia. Hal itu ditunjukan dalam kesadaran intuitif terhadap potensi atau kadar yang dimiliki. Karena itu, menjadi penting mengenali diri, dan mengenali Tuhan. Dengan demikian, ada keikhlasan dengan fondasi iman yang baik. Oleh karena itu, arus peradaban hanyalah kontribusi masing-masing unsur sosialita dengan kadar yang berbeda dalam takaran yang hakiki.
Itu berarti, bahwa adanya kesadaran lahiriah dan batiniah secara seimbang untuk mewujudkan kehidupan yang penuh dengan harmoni, dinamis, progresif, dan konstruktif serta tetap dalam posisi sebagai makhluk Tuhan (Allah Swt). Sehingga kemudian diharapkan melalui Karya Sastra ini dapat memberi gambaran tentang intuisi yang menggerakkan peradaban dan warna kebudayaan. Jangan sampai sosialitas kehidupan hanya dirasuki atau didominasi oleh tren perubahan dalam dialektika material semata.
Sosialita Bangsa dan Negara yang tercabik sebagai akibat partisipasi sosial yang semakin tidak orientatif, dangkal, parsial, sporadik, dan pragmatik. Makanya, perlu kembali agar saling berkaca diri dalam memaknai bersama tentang kerangka sosialita negeri tercinta (Republik Indonesia). Meskipun upaya ini tentunya harus dilaksanakan secara lestari dalam kesadaran kolektif sebagai suatu bangsa yang harmonis. (Unzn)