Indonesia yang begitu kaya akan khasanah nilai-nilai Kejuangan yang perlu diwarisi dari generasi ke generasi berikutnya. Adalah Karya Terbaik yang dipersembahkan oleh anak bangsa sebagai legasi dalam bidang kehidupan masing-masing untuk satu titik kesadaran serta kepentingan nasional (bangsa dan negara). Langkah dan Karya Perjuangan boleh dikatakan ada di seluruh daerah (dari Sabang sampai Mereuke) sebagai satu kesatuan yang utuh di nusantara (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Para pejuang bangsa tersebut telah mempersembahkan karya perjuangannya demi Kejayaan Negeri. Mulai dari Perjuangan dalam era perintis kemerdekaan, revolusi kemerdekaan, dan seterusnya.
PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) dimulai dari akar kesadaran dalam menerkaskan kehidupan bangsa serta kerangka semangat untuk membangun peradaban yang progresif. Syeikh Sulaiman Arrasuli beserta rekan seperjuangan telah menggagas misi Persatuan berbasis kekuatan kecerdasan dengan memajukan Ilmu Pengetahuan. Sehingga pada 5 Mei 2028 PERTI melangkah bersama komponen bangsa yang lain untuk bahu-membahu dalam mewujudkan Indonesia yang sejahtera lahir dan batin. Utamanya PERTI bergerak dalam aspek pendidikan dari basis yang sederhana hingga moderat, dan dakah dalam arti luas.
Sudah seharusnya Generasi terkini dan kedepan senantiasa menghargai jasa para pahlawan yang telah berkorban untuk bangsa dan negara ini. Bagaimana meninternalisasikan nilai-nilai perjuangan hingga selalu hidup di negeri ini, – sebagai bangsa pejuang (patriotik), dan mencontoh semangat, ketegasan serta konsistensi seorang Jenderal Besar Soedirman, sikap tegas Cut Nyak Dien dari Aceh, Ahmad Sanusi dari suka bumi Jawa Barat, Pangeran Antasari, Patimura, Bung Tomo, Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Muhammad Yamin, Soetomo, dan banyak sekali nama pejuang dan atau pahlaan nasional yang menyebar di berbagai daerah di NKRI. Apalagi para Pejuang yang tidak dikenal yang notabene mereka para pejuang sejati yang ikhlas demi negeri tanpa harap balas jasa.
Oleh sebab itu, wajar kirannya, disatu sisi telah terbentuk suatu Sistem Pemberian Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan yang meletakan kewenangan kepada Presiden memberikan tanda jasa atau tanda penghargaan berdasarkan ketentuan UU yang yang berlaku.
Foto. Ist. Di Museum Panglima Besar Jenderal Soedirman
Tentang kepahlawan juga pernah direspon oleh Jaya Suprana yang juga tokoh Kelirumologi Indonesia berpendapat, bahwa begitu pentingnya persoalan ini, maka Dewan perlu mencari langkah untuk penyempurnaan ketentuan yang mengatur tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. DPR menginginkan supaya segala aturan yang telah ada perlu dihimpun kembali, terus disempurnakan, dan mungkin juga disederhanakan tapi bukan mengurangi mutunya, dan supaya lebih mudah dalam penjabaran (penerapannya). Hal ini hanya sekadar menyadarkan, bahwa betapa sulitnya menetapkan penghargaan kepahlawanan.
Jaya Suprana pernah mengisahkan upayanya pada tahun 1990 ketika mendirikan Museum Record Dunia Indonesia, waktu itu namanya museum record Indonesia. Sama-sekali tidak menduga, dan berpikir, bahwa untuk memberi penghargaan tidak ada masalah, tetapi ternyata dalam proses yang telah berlangsung, nyatanya banyak sekali penghargaan-penghargaan MURI ini yang mendapat sambutan pro dan kontra. Kalau yang kontra sampai dengan penuh kebencian mencaci-maki dan lain sebagainya. Apalagi kalau pihak yang memperoleh penghargaan tersebut memiliki kegiatan di bidang politik, maka langsung Lawan-lawan politiknya menyatakan, tidak setuju kalau ada yang mendapat penghargaan. Oleh karena itu, bukan hanya filsafat penghargaan yang penting tetapi psikologi penghargaan juga perlu dipikirkan. Psikologi penghargaan ini diperlukan agar mampu mengaktualkan hal-hal yang menunjukan betapa beraneka ragamnya paham, opini, penilaian dan selera manusia. Dalam hal seperti ini, maka kita dapat merasakan ketika terlibat dalam menetapkan kepahlawanan nasional.
Penilaian tentang Pahlawan Indonesia mestinya dibuat berdasarkan atas kebudayaan bangsa Indonesia sendiri. Jangan meniru apa yang sudah dilakukan dengan penyebutan tentang national hero seperti di negara lainnya. Sebaiknya penilaian, pemilihan dan penetapan Pahlawan Nasional Bangsa Indonesia ini dibuat berdasarkan Azas-azas Kepemikiran dan Falsafah Bangsa Indonesia ini sendiri.
Pada sisi lain, Prof. Dr. Damar Djati Supajar yang juga seorang Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Gajah Mada menjelaskan, bahwa sebenarnya perbuatan memberi gelar-menggelar perlu suatu konsistensi dari inspirasi religius dan aspirasi kultural demi konspirasi universal. Kehidupan yang sekarang ini adalah sebagai dampak dari temuan-temuan ilmiah, dan ketika menjadi modern tapi menjadi objek penderita.
Darah para Suhada itu mulia, tapi Kalam Alim Ulama jauh lebih mulia, mulianya darah para Suhada sudah terbukti, sedangkan lebih mulianya kalam alim Ulama masih harus dibuktikan.
Pembicaraan tentang gelar secara kefilsafatan berada pada ranah predikabilia. Baik untuk ilmu ketuhanan, agama atapun ilmu pengetahuan. Kemudian yang kesatria, atau pahlawan nasional – pahlawan kesatriaan. Dalam konteks ini, sambat-sebutnya adalah ’jagat dewo botoro masuk ke dalam cahaya ora jagat pramudito’. Mereka yang bisa memancarkan cahaya Allah dan mendekatkan diri kepada tuhan. Mengenai kriterianya, menurut Damar Djati Supajar, yakni adanya watak kesatria. Ujar Prof. Damarjati.
Damar Jati mencontohkan tentang kebesaran Bung Karno adalah karena dia yang ’membongkar ikatan-ikatan’. Bung Karno dikagumi, tetapi karena Bung Karno lalai sehingga ia membongkar dirinya sendiri, terbongkar oleh ilmunya sendiri maka muncul Suharto. Kenegarawanan Suharto, menurut Damar Djati adalah terletak pada konsepsi ’ambekparamaartha’, mengambil skala prioritas tapi ada bahaya yang mengancam. Karena itu, mari kita kembali ke jiwa besar jangan hanya berkosa-kata masa lalu. Tapi periode berikutnya adalah Dharma, ini yang menantang kita, kata Prof. Damarjati.
Lebih konkret lagi Damar Jati menjelaskan soal kriteria kepahlawanan yang pertama ialah melapangkan dada. Sehingga kalau ada pahlawan yang membuat sempit pihak lain itu belum lolos dari ukuran kriteria melapangkan dada. Setelah itu kriteria kepahlwanan ini juga adalah orang yang meringankan beban penderitaan. Pemimpin dan siapapun yang tidak mampu meringankan beban rakyat pasti jelek terhadap perilaku, baik dia menebar gelar atau tidak. Sekarang meringankan beban adalah kriteria yang sungguh penting. Berikutnya meninggikan ingatan, dalam hal ini kita dapat melihat contoh dari yang namanya komunitas Lebah. Lebah itu sarangnya tinggi, intelektual dan moral, mereka ingatannya tinggi, ’kromo inggil’ namanya dalam bahasa Jawa, tingkat tinggi yang bisa melihat struktur kejadian beserta kesulitan itu sebagai suatu kemudahan.
Damar Jati juga menambahkan, bahwa pahlawan selalu meninggalkan kata-kata mutiara. Kalau yang bersangkutan belum menuliskan kata-kata mutiara di makamnya, maka pewaris harus menggali, ’apa kata-kata mutiaranya’. Baha, seorang pahlaan, sebagai sosok Anak pada zamannya mereka harus diberi porsi pengembangan ilmu yang amaliah. Berupa sistem amal jariyahnya. Terbukti para pahlawan ini harus dapat meninggalkan (legasi) ilmu, amaliyah, amal ilmiyah, dan amal jariyah, secara sistemik, dan amal saleh ’an-amtaalaihim’ maka cirinya ada tiga. Bahwa adanya keturunan yang sholeh, anak sholeh, ilmu manfaat dan amal jariyah. Jadi mestinya para pahlawan itu memperlihatkan, bahwa temuannya itu mengatasi kehadiran dirinya.
Adanya azas konstrisitas, dan konvergensi maka titik-berat pembinaanya ada pada dunia pendidikan, keluarga asih, pendidikan formal asuh dan pendidikan masyarakat asah berupa sinergi program antar departemental. Dan, policy psikosibernetik merupakan prasyarat lain yang perlu dijadikan pedoman dalam kepahlawanan. Sebagaimana pernah diutarakan oleh Pak Harto, bahwa pembangunan adalah pengendalian diri.
Bung Karno melahirkan kebijakan ’datang dari pusat ke daerah, dan dalam hal politik bersifat sosial-kultural. Kemudian Bung Hatta melahirkan kebijakan ’datang dari daerah ke pusat’, dan dalam hal ekonomi kerakyatan yang pengangarannya dibuat secara terpadu serta memperhatikan golongan cilik. Ketika strategi Bung Karno dan Bung Hatta dalam membangun negeri melalui pendekatan ’dari atas ke bawah-dari bawah ke atas’, maka reaksi pertama muncul dari Penjajahan. Kalau tokoh sentral itu Bupati maka kesan keterjajahan bangsa Indonesia tidak akan ada bekas yang bisa mereka banggakan.
Para pemegang policy kebudayaan dalam permainan gelar biasanya berada pada motif di baliknya. ’Revolusi 45’ harus dilanjutkan menjadi puncaknya yaitu revolusi spiritual tanpa huru-hara dan tanpa berdarah-darah. Setelah tahun 2008 harus ada titik-balik perubahan sebelum kita gegeran yang menghambur-hamburkan uang rakyat untuk Pemilu 2009, kata Damar Djati.
Keputusan dalam memberikan gelar kepahlawanan secara sempurna sangat sulit dicapai karena masih juga ada yang kontra. Kesiapan menghadapi kontra-kontra itu yang juga menjadi bagian dari dinamika peradaban dan kebudayaan, termasuk dari cara memberi penghargaan.
Pada sudut pandang lain, tentang penghargaan kepahlawanan jangan sampai terbelenggu kepada fokus kekerasan dan fokus politis. Justru yang dibutuhkan adalah Pahlawan Kemanusiaan, Pahlawan Kearifan, Pahlawan Spiritual, Pahlawan Olah Raga, dan Pahlawan-pahlawan yang berjasa pada bangsa dan negara ini. Pahlawan Ekonomi, Pendidikan, dan lain sebagainya. Karena itu, perlu membuka wawasan lebih lebar lagi tentang kepahlawanan dengan kriteria peradaban dan kebudayaan nasional.
Kemudian Damar Djati menambahkan, bahwa pahlawan itu adalah menjadi kaca (mororoso) atau cermin bagi tingkat daerah, nasional, kemanusiaan, universal dan itulah sebagai kriteria utama. Pecahannya tadi adalah bahwa mereka harus lapang dada, tegak tapi lentur, dan ingatan meninggi (kecerdasan) dan atau memiliki kapasitas. Meskipun kepahlawanan pada akhirnya bukan untuk berlomba-lomba memperoleh suatu tanda jasa, tetapi untuk mendapat Ridho Tuhan (Allah Swt). Selamat Hari Ulang Tahun PERTI KE-95 (sembilan puluh lima) tahun (5 Mei 1928-20 Mei 2023). Dan, Selamat Hari Kebangkitan Nasional Ke-115, 20 Mei 1908 – 20 Mei 2023, – seraya menyerukan Bangkitlah dan Jayalah Indonesia. Merdeka!!! (Uzn)