Menghidupkan Kembali Semangat Kebangkitan Nasional
Oleh: Martiono Hadianto
Pemerhati Bangsa, Mantan Dirjen BUMN dan Dirut BUMN Strategis
Tanggal 20 Mei selalu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional—sebuah tonggak sejarah lahirnya kesadaran kolektif bangsa Indonesia untuk bangkit dari keterjajahan, yang ditandai oleh berdirinya Boedi Oetomo pada 1908. Namun di tengah peringatan simbolik yang rutin digelar setiap tahun, kita perlu bertanya dengan jujur: apakah semangat itu masih hidup? Apakah bangsa ini sungguh telah bangkit?
Delapan dekade setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memang telah merdeka secara formal. Namun secara substansial, banyak warga bangsa merasa belum sepenuhnya bebas dari cengkeraman kekuatan eksternal dan internal yang menghambat terwujudnya cita-cita kemerdekaan sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: “melindungi segenap bangsa Indonesia… dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Kebangkitan Baru: Melawan Dominasi Baru
Jika dahulu penjajahan bersifat fisik oleh bangsa asing, kini bentuk penjajahan menjadi lebih canggih: dominasi ekonomi oleh korporasi global, infiltrasi nilai-nilai sosial-budaya asing melalui media digital, ketergantungan teknologi yang mengerdilkan kemandirian bangsa, serta subordinasi kebijakan nasional terhadap kekuatan geopolitik dan modal internasional. Dalam banyak kasus, elite nasional justru menjadi pelayan dari kekuatan asing tersebut.
Sebagaimana diingatkan Muchtar Lubis dalam pidatonya yang terkenal di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1977, bangsa Indonesia menghadapi masalah mendasar dalam mentalitas dan moralitas. Ia menyebut tujuh ciri utama manusia Indonesia yang masih relevan hingga kini: hipokrit, segan bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, artistik tapi malas berpikir, tidak hemat, dan berperilaku tidak objektif. Inilah penyakit lama yang belum sembuh, bahkan semakin diperparah oleh praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merajalela di semua lini.
Pancasila: Kompas yang Terlupakan
Kita sebenarnya telah memiliki dasar yang luhur dan komprehensif: Pancasila dan UUD 1945. Tapi apa daya, nilai-nilai itu kerap dijadikan jargon tanpa aktualisasi nyata dalam kebijakan publik dan kehidupan sehari-hari. Kita menyebut sila kelima—“Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”—namun kenyataan menunjukkan ketimpangan ekonomi yang mencolok, pendidikan dan layanan kesehatan yang belum merata, serta hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Kita sering menyalahkan sistem ekonomi, politik, bahkan globalisasi sebagai penyebab masalah bangsa. Padahal, pangkal soalnya bukan pada teori atau sistem, tetapi pada pelaksanaannya yang tidak dilandasi oleh moral dan etika luhur. Tanpa kejujuran, integritas, dan tanggung jawab, sehebat apapun sistem yang diterapkan akan menjadi alat penindasan baru.
Tugas Kaum Cendekia: Menyalakan Obor Kesadaran
Dalam konteks inilah, peringatan Hari Kebangkitan Nasional harus dimaknai ulang. Ini bukan sekadar mengenang masa lalu, melainkan membangkitkan kesadaran baru. Kebangkitan nasional kedua harus dimotori oleh kaum cendekia—para pemikir, akademisi, dan profesional yang masih menyimpan komitmen moral pada bangsa. Mereka harus keluar dari zona nyaman dan bersuara lebih lantang. Mereka harus menjadi penyuara nurani, pengarah visi, dan penjaga nilai.
Dalam dunia yang makin terkoneksi dan terdigitalisasi, kebangkitan nasional juga harus memanfaatkan teknologi untuk memperkuat ketahanan bangsa, bukan memperdalam keterjajahan gaya baru. Maka dibutuhkan transformasi budaya yang berakar pada nilai luhur Pancasila, bukan sekadar adopsi teknologi tanpa kearifan lokal.
Menjawab Tantangan Zaman
Tantangan hari ini bukan lagi mengusir penjajah, tapi membangun bangsa yang berdaulat dalam berpikir, mandiri dalam ekonomi, dan adil dalam tatanan sosialnya. Untuk itu, diperlukan:
1. Revolusi mental yang autentik, bukan sekadar slogan, tetapi perubahan karakter bangsa melalui pendidikan moral, keteladanan elite, dan reformasi kelembagaan.
2. Pemurnian kembali demokrasi, dari demokrasi prosedural menjadi demokrasi substantif yang berpihak pada rakyat.
3. Pembangunan ekonomi berkeadilan, berbasis kemandirian dan gotong-royong, bukan kapitalisme oligarkis.
4. Reformasi kepemimpinan nasional, yang selektif, berbasis integritas, dan meritokrasi, bukan dinasti politik atau patronase uang.
Penutup: Dari Kesadaran ke Gerakan
Kebangkitan Nasional sejati hanya mungkin jika dimulai dari kesadaran pribadi yang menjelma menjadi gerakan kolektif. Ia bukan tugas satu orang atau satu institusi, tetapi tanggung jawab seluruh anak bangsa yang mencintai negeri ini dengan jujur.
Momentum 20 Mei ini kiranya menjadi seruan moral untuk bangkit kembali—dengan semangat merdeka dari kebodohan, dari ketergantungan, dan dari ketidakadilan. Dan seperti kata Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.” Kini saatnya kita tidak hanya menghargai jasa mereka, tapi juga melanjutkan perjuangan mereka—dengan cara yang relevan untuk zaman ini.
(Unzn)