Meskipun pada awal pembentukan D-8 ditujukan untuk mengkapitalisasikan segenap potensi kekuatan Negara-negara Islam yang tergabung sebagai Negara Anggota pada Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam kerangka menghadapi ketidakadilan dan sikap mendua (double standard) oleh Negara-negara Barat. Namun demikian, dewasa ini dalam perkembangan selanjutnya, bahwa D-8 sebagai bagian dalam pendulum lintasan kerjasama regional selatan-selatan, faktanya D-8 dapat bertransformasi dan memposisikan diri secara elegan sebagai kelompok negara yang tidak bersifat eksklusif keagamaan semata, tetapi D-8 juga mampu merespon tatanan peradaban kehidupan global yang inklusif tersebut.
Kini, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, telah menerima tongkat estafet kepemimpinan negara-negara yang tergabung di dalam perhimpunan atau organisasi regional yang disebut dengan the Developing-Eighth (D-8), yang mana keanggotaannya diisi oleh Negara-negara Sedang Berkembang, yakni: Indonesia, Bangladesh, Mesir, Malaysia, Nigeria, Pakistan, Iran, dan Turki. Bahwa, menurut Dr. Undrizon, S.H., M.H., dalam posisi selaku Sekretaris Jenderal DPP PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) – ‘sesuai dengan cita-cita pembentukan organisasi regional, Negara-negara D-8 tersebut, sehingga ia harus tetap konsisten berusaha serta mencoba selalu proaktif dalam menyikapi setiap perkembangan dinamika kekuatan geoekonomi dalam lintasan arus pengelompokkan kekuatan ekonomi negara-negara yang telah memicu globalisasi pada semua lini atau bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di seantero dunia. Artinya eksistensi D-8 harus tetap kuat sejalan dengan intensitas kemajuan yang telah dicapai oleh negara-negara lainnya di luar keanggotaan D-8, maka itu kemudian diperlukan kemampuan D-8 dalam menjaga keseimbangan terkait efektivitas sumberdaya strategis nasional, baik secara eksplisit maupun implisit yang digerakan dari basis kekuatan sosio-ekonomi di masing-masing Negara Anggota D-8 demi kesejahteraan rakyatnya’.
Developing Eight (D-8) tersebut resmi berdiri melalui Deklarasi Istanbul yang muncul dari keinginan bersama pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-1 (Pertama) pada 15 Juni 1997 di Istanbul, Turki. Deklarasi Istanbul yang berisikan tentang tujuan, prinsip-prinsip, dan bidang-bidang kerjasama pada Negara-negara D-8, yang meliputi, hal-hal sebagai berikut: pertama, pentingnya perdamaian di atas konflik (peace instead of conflict); kedua, mengutamakan upaya dialogis daripada konfrontasi (dialogue instead of confrontation); ketiga, mencari jalan keadilan daripada standar ganda (justice instead of double-standards); keempat, menghargai kesamaan daripada kesenjangan (equality instead of discrimination); dan kelima, mengedepankan demokrasi daripada penindasan atau kesewenangan (democracy instead of oppression).
Hal itu sesungguhnya juga seirama dengan posisi serta karakteristik organisasi regional lainnya, meskipun terkadang belum efektif. Bahkan terkadang, berbanding terbalik terhadap upaya-upaya mereka dalam memajukan aspek ekonomi, misalnya: NAFTA, ANZERSTA, EU, EFTA (Eroupean Free Trade Area), ASEAN, AFTA/ACFTA, G7, G8, G77, G20, APEC, G24, dan lain sebagainya, yang telah menjadi ajang untuk saling bekerjasama dan saling memahami kondisi di negara masing-masing. Skema kerjasama dalam berbagai bidang telah dilakukan, apalagi terkait dengan sektor strategis, misalnya di sektor energi, transportasi, distribusi dan logistik, pertambangan, perindustrian, perdagangan, manufaktur, kelestarian lingkungan hidup, pengembangaan wilayah perkotaan (towns development), khususnya pembangunan daerah urban, tertinggal, dan pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah. Semoga segi nilai-nilai perikemanusiaan senantiasa berbanding lurus dalam dialektika kemajuan organisasi kerjasama regional-global tersebut.
Terlepas dari semua itu, bahwa kehadiran Bapak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto dalam KTT D-8 yang Ke-11 (Kesebelas), di Kairo, Mesir, pada 19 Desember 2024, yang tengah berada di penghujung pergantian tahun 2024 menuju 2025, – tentunya dinilai sangat signifikan dan strategis bagi kepentingan dunia (internasional), khususnya bagi D-8. Utamanya bagi keberadaan serta masa depan Negara-negara Selatan, Negara Sedang Berkembang, serta usaha-usaha dalam memacu daya saing ekonomi negara yang mayoritas berpenduduk Muslim. Dan, secara simbolis pun, Mesir adalah salah-satu negara yang memiliki tingkat peradaban tinggi dalam rentang waktu ber-abad-abad lamanya hingga kini. Mesir juga terkenal sebagai pusat Pendidikan Tinggi Islam yang menjadi wadah bagi para mahasiswa/mahasiswi dari berbagai penjuru dunia untuk menimba ilmu pengetahuan (saintifik), contohnya Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir – yang telah banyak melahirkan para Sarjana yang berasal dari tanah air. Sehingga sangat in line dengan tema sentral pada konferensi D-8 kali ini: “Investing In Youth And Supporting SME’s : Shaping Tomorrow’s Economy”.
Itu berarti, menurut Dr. Undrizon, S.H., M.H., “bahwa D-8 sangat menyadari tentang kondisi soio-ekonomi yang masih tertinggal, sehingga perlu dibenahi dengan mengkalkulasi Kembali segenap potensi sumberdaya strategis nasional, baik sumberdaya manusia, sumberdaya alam, dan sumberdaya buatan, – yang terintegrasi di semua lini sosio-ekonomi negara-negara anggotanya. Sejalan penguatan visi dan misi D-8 menuju arah kemajuan yang telah dan yang akan dicapai secara kompetitif, sebagaimana keunggulan dari negara-negara industri maju, terutama di Eropa, dan Asia-Pasifik lainnya. Maka itu, Presiden Prabowo Subianto, dengan rasa tanggungjawab moral yang tinggi, dan kesadaran yang holistik tentang posisi negara yang merdeka serta berdaulat, maka Beliau lantas menegaskan terkait dengan pentingnya suatu kerjasama yang solid. Dan, Beliau menambahkan agar Pemimpin Muslim tidak saling serang satu-sama lainnya. Bahwa persaudaraan menjadi kata kunci dan penting dalam menuju keberhasilan suatu kerjasama, khususnya bagi negara-negara Anggota D-8”.
Bahkan dalam konteks berlarutnya konflik di Palestina-Israel, maka Presiden Prabowo menandaskan, tegas, tapi ringan, fair, tanpa banyak “basa-basi”, yang membuat “jantung para delegasi KTT D-8 berdegup kencang”, tersadar dari mimpi, bahwa Republik Indonesia selalu menyuarakan secara lantang tentang arti pentingnya perdamaian (peace), tetapi mengapa sebagian pemimpin Muslim masih terbuai dalam frame orientasi yang lain (masing-masing). Sehingga menurut Presiden Prabowo Subianto, terkesan, bahwa kesadaran tentang HAM (Hak Asasi Manusia) sepertinya bukan untuk melindungi kepentingan negara-negara mayoritas penduduk Muslim”. Hal itu telah menjadi realitas dalam konteks dinamika kehidupan global sampai saat ini. Oleh karena itu, Presiden Prabowo mengajak agar para Pemimpin tersebut: “satu suara, jangan selalu bertikai, jangan berpecah-belah, sembari mengutip jargon devide et impera”. Selain itu, Presiden Prabowo mengajak agar Para Pemimpin D-8 tersebut – juga harus tetap menjaga kejujurannya kepada rakyat di masing-masing negara Anggota D-8.
Meskipun di awal penyampaian Pidato oleh Presiden Prabowo Subianto, ada yang menganggap insiden sebagai akibat beberapa dari delegasi meninggalkan arena konferensi. Termasuk Presiden Turkey, Recep Tayyip Erdogan, sehingga telah memicu berbagai asumsi. Padahal itu, menjadi peristiwa biasa dalam berbagai jenis atau dinamika forum diplomasi, dan semoga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) D-8 Ke-11 di Kairo, Mesir tersebut bisa menjadi momentum dalam peningkatan kemajuan, ketahanan dan kemampuan daya saing serta produktivitas yang tinggi dan berkualitas bagi kesejahteraan Negara-negara Anggota D-8. Amin ya rabbal’alamin. (Unzn)