Ketika sikap inkonsistensi semakin menjadi-jadi
Konsistensi pun dianggap penghalang bagi para Petualang
Mendorong, menggalang dan merintangi dengan motif pribadi
Tanpa hiraukan nasib negeri
Maraknya kepentingan kelompok yang merampok
Kesadaran kolektif sebagai bangsa kian terkebiri
Soliditas kian terkoyak-koyak hari demi hari
Suburkan sikap kaum oportunis yang kian mencolok
Adu domba menjadi-jadi
Sikap dan tindakan anarki menjadi pilihan hati yang kerdil
Bahkan sekadar revolusi kecil-kecilan dicoba sebagai simbol perlawanan
Padahal seharusnya melawan ketidakadilan
Reformasi hanya sekadar menjadi jerami yang membesarkan api
membakar bangunan-bangunan negeri
Awan kelabu masih menjadi suasana politik, tidak etis, dan citra pribadi
Telah merongrong keutuhan NKRI
Kemapanan negara tak kunjung jua gemilang dan mandiri
Sikap rakyat yang masih gemar berfriksi, ketimbang unifikasi
Telah membelah kesadaran anak negeri
Citra elitis tetap dibangun dalam mengejar eleksitas dan elektabilitas
Nalar masyarakat semakin mabuk dalam simpati yang ironi
Rakyat tak kuasa tegak karena proletarian
Hanya saja selalu ada sugesti kehidupan di negeri yang kaya nilai Ketuhanan
Terkadang hanya decak-kagum tanpa makna sesungguhnya
Informasi Media mengharubiru nurani yang lalai
Lalai karena seringkali mengantuk dalam keperihan derita
Keberanian hidup percuma tanpa asa adil dan sejahtera yang sebenarnya
Padahal tegaknya negara merupakan keberhasilan atas karya bersama anak bangsa Keterlibatan masyarakat dan individu terbawah dalam hirarkis kehidupan
Mereka seharusnya yang menang dengan kebijaksanaan
Meski tarian topeng selalu menggiring persepsi dengan teori rakit hanyut
Adalah dewa politik yang zuhud
Meskipun ada yang bermain situasi bagaikan bola api
Cerita tentang kecerdikan kancil dan buaya
Walaupun rumitnya mematahkan yang lemah dengan memukul yang kuat
Membandingkan kualitas dalam ketinggian adab berbangsa
Kesepadanan mengapa harus dengan alih isu yang merobek persepsi Rakyat Mu Kau tempatkan tokoh dengan karakter yang mengundang koncoisme
Tupai jonjang berbunyi dan melompat dengan seringai taring dan warna belang
Muncul sejuta pahlawan karbitan yang terbit dari seuntai ukiran pada kanvas media dan keluarga Dimanakah kini engkau Pahlawan sejati Ibu Pertiwi?
Terkadang perlu dekati Orator
Gagah perkasa memimpin aksi massa dan masa aksi
Mengapa harus ada engkau behind the guns
Ternyata tak cukup lagi perhambaan politis
Engkau terlalu senang bermain muka
Ternyata tak lebih dari seekor Kura-kura jantan yang muluk-muluk
Tetap saja kau lihat potensi kepentingan Mu di atas kepentingan Rakyat
Bisakah kau jinakan anjing pelacak
Ketika terpaku melihat para sapi yang mengherang, gelisah di musim kawinnya
Nun disana ada Beruang Madu yang telah meruntuhkan jerat Burung Punai yang rendah dari permukaan bumi
Padahal ketinggian terbangnya mampu mengarungi langit biru
Apakah karena ada udang di balik batu, ketika nafas kian terhengah-engah
Seperti nafas seekor Kuda Pacu yang bertarung cepat di tengah lapangan
Ataukah karena tidak mampu menahan serangan musang berbulu ayam
Seekor kucing belang bercanda dengan kucing hitam
Ayam Hitam berkokok di tengah heningnya malam
Ketika Ayam Putih tegak di ranting pohon kamboja diterpa terik mentari
Mengapa Kau menyangkal Lawan Politik padahal ia teman baik Mu
Ketika teman baik Mu telah menjadi musuh yang tangguh
Tak asing lagi, ketika Kau tarik-ulur segala kepentingan
Padahal ada kuda hitam yang melompat sambil meringkik karena pembusukan
Kau masih seperti Ikan yang beraksi di aquarium yang dianggap samudera luas
Belah-bambu menjadi senjata yang merobek kepekatan cinta dalam asa berbangsa
Bola-salju mencair dan kemudian menetes dalam hawa panas kepentingan pribadi
Semestinya mampu menggunakan semua Sumberdaya sebagai pendukung Jangan sampai bangsa lain mengukur kekuatan daya ledak nafsu Mu
Seketika Kau masih bagaikan seekor Ayam yang sedang mengerami sebutir telur
Padahal bangsa lain telah terbang tinggi menjelajahi angkasa kepentingan dunia
Kambing hitam selalu jadi pilihan dalam upacara dengan kirab api obor politik yang memantik
Hanya seekor Ayam saja yang terganggu sesaat ia sedang bertelur
Padahal Rajawali Dunia tanpa dosa terkadang telah melanggar fatwa Ibu Pertiwi
Tatkala sesaat banteng matador tengah tunggang-lanngang mengejar musuhnya
Sedangkan Musuh itu adalah dirinya sendiri
Situasi kesulitan massal, kian menjadi lembaran Undangan pesta bagi pesolek politik
Meski lapar dan dahaga tengah menghinggapi lambung rakyat Mu
Seketika Ratu Lebah menggeliat terasa geli tak terperi
Tak sempat lagi lihat api menyala lalu padam begitu cepat
Ratu Lebah tetap konsisten pada hukum yang menjunjung kesatuan dan persatuan serta kebersamaan
Sementara di negeri Mu masih ada para pecundang hukum yang melangkahi tujuan berbangsa dan bernegara
Sembunyi di balik mantera pemikat burung terbang di nirwana awan biru
Ciptakan bayangan yang menipu seekor anjing yang bergerak di bawah tiang-tiang bendera
Tanpa Jiwa Indonesia maka tak terasa sebatang pohon besar telah rontok tanpa peran para zuhud politik
Ibu Pertiwi terus menangis, miris, dan teriris kepentingan parsial
Para petualang bernyanyi dan terus bergoyang tentang kebusukan di atas Tengkuk
Agar mereka tiada kunjung amruk, tiada yang mengusik, tetap berdiri angkuh
Selalu terlihat sejuk, senantiasa ditunjuk, dan membinasakan siapapun yang masuk Karib sampai mabuk, Penduduk beriman pada materi, Pengusaha gemuk berseri-seri Agamawan kian mengantuk dan terangguk-angguk tanpa nilai
Musuh memeluk, tangan ditepuk-tepuk, Atasan sibuk mencatuk
Siaran berita seringkali bicara bohong tentenag negeri yang sesungguhnya
Hiburan hanya untuk menenangkan, memabukan, manajemen jari kekuasaan
Budayawan bertepuk-tangan, Seniman saling berpelukan berpuas hati
Pemuda terlena dalam asa muda bergairah tanpa arah dan karya
Wanita gampang ternoda karena mengejar materi, seolah diri selalu abadi tanpa Tuhan
Belati di pinggang meradang, sedangkan simponi begitu indahnya
Ketika psikologi massa telah mengubah cara pandang dunia
Lantas mengapa intimidasi massa tak jua berhenti, bahkan genosida
Seakan tiada musuh abadi karena dianggap teman abadi
Semut mati karena manisan bukan karena madu
Ikan mati karena air, ayam mati di lumbung padi
Laron mati karena cahaya bukan karena cinta
Senyuman setiap orang mampu mengusir rasa kantuk
Mundur dan maju kian tak jelas maksudny
Mengkebiri intelektual dan melapukkan nilai peradaban bangsa yang luhur
Latihan idealistik tetapi berpihak, seringkal tembakan pertama tidak mematikan
Pembiusan politik terjadi di sepanjang kepentingan yang ada
Lapar dan dahaga tetap meraih basis massa dalam suka-cita
Mengkerangkeng nada Suara Garuda yang gagah perkasa
Mengapa terkadang kalian berpihak kepada lawan
Hanya karena tak mampu menyusun rencana tatkala kabut hujan mendera bumi
Seringkali masih bersimbah arak dan aroma minuman keras
Seperti tertidur bersama sang bidadari, padahal berbalur racun anjing gila
Pastinya kau tak akan mampu pelihara binatang berbisa
Berburu Kijang tiada artinya dengan memangkas pohon talas
Yang Kau temui hanya seekor Kura-kura jantan yang sudah menua
Nun disana ada Harimau lapar meraung-raung di rimba belantara,
karena terperangkap jerat Babi
Kenapa kau menebang kayu berbuah padahal itulah harapan bagi gerombolan burung
Ketika melihat Raja berkuda, Naga pun turun dari pegunungan
Tatkala ada Kucing bermain
Bahkan, Kera sedang bercinta dengan Komodo
Sesaat Kera terperanggah di atas pohon, sembari mengintip buah pisang yang masih hijau
Bisakah Kau tempatkan sesuatu dalam kebutuhan Mu di bawah Kebutuhan Negeri Mu
Koalisi kepentingan bagaikan gelombang yang menjadi ombak berdebur di bibir pantai
Disana ada Batu Penimpa sesaat Gerbong Kereta Api Tuan melintasi semangat Rakyat yang semakin suram kemudian padam
Arah lokomotif, menderukan angin yang menerbangi dedauan kering serta kertas
Ketika goresan tinta politik telah menepuk pantat, menepuk bahu, dan menepuk dada
Tunggulah rasa takut dan kegamangan melihat badut superman yang menarikan lagu Ibu Pertiwi
Boneka pajangan hanya terkurung dalam himpitan kejemuan hati yang menggemukan badan
Ketika seeokor Kancil mati dalam Naumisme politik Tambal-sulam, bagaikan Rakit hanyut
Kabut bumi mengganggu seekor Kerbau yang sedang asyik berendam
Di dekat seekor Kambing yang sedang terpasung, tapi pepatah mengapa ada Belanda yang minta tanah
Bersikaplah dalam jiwa yang Mandiri demi negeri
Bertujuan jelas, dan tak pernah apriori dalam membenarkan realitas sejati
Kebenaran negeri harus terpatri di Hati para Pemimpin bernyali tinggi
Meskipun harus lentur dalam misi agar Rakyat senantiasa diterangi lentera pengetahuan dan ilmu, iman, dan taqwa
Jalan berliku tiada aneh bagi seekor Burung Murai yang menahan diri,yang berdiri tegak di atas tumpukan Batu Cadas
sementara nun disana ada Mata Elang selalu bergerak kesegala arah
Perlu sabar, arif, tahu kiasan, yakin, jauhari ketika menunggu saat yang tepat, cerdas, dan bijak mengatur negeri
Jangan seperti seekor anak di Kantong Kangguru
Lompatan laksana katak hijau dari balik pematang sawah
Belahan bambu menahan tiupan angin gurun yang kering
Bisakah kau Panjat pinang yang berbuah
Bukan sekadar menjadi si penggenjot becak
Atau, tingkah-laku seperti seekor Burung Beo yang mengulangi ayunan kata dan teriakan para
Kondektur yang mencari penumpang di jalanan
Padahal seekor Berkutut selalu bergerak agar bisa berteriak tanpa batas
Bukan pula teriak para tukang obat di gang sempit pasar tradisional
Padahal setiap saat, awan kelana dapat meredupkan sinar mentari yang terang
Burung Gagak menyampaikan pesan tentang kegelapan Peradaban Bangsa
jangan sampai getah nangka turut menodai Ibu Pertiwi
Mengapa pohon Kau tebangi padahal burung terpikat hinggap merentang sayapnya
Dan, ulat sutera tanpa sadar telah memercikan ludahnya
Pertanda adanya kabar berita nan besar tentang Ibu Pertiwi
Tapi kebenarannya masih teramat kecil, karena tertutup oleh daun-daun nipah
Di sepanjang pantai nusantara yang mestinya gemah ripah !!!
(Karya Puisi: Undrizon/jkt/24)